Prawacana oleh Penerjemah Indonesia

Prawacana Oleh Penerjemah Indonesia

Pamflet ini adalah kumpulan tulisan-tulisan dari sang egois ekstrimis dan illegalist Renzo Novatore. Seorang anarkis individualis murni yang memberontak melawan pemerintahan kristian dan rezim fasis Italia yang sedang bergejolak pada saat itu. Berisikan 15 karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia, juga tulisan dari Enzo Martucci (seorang sahabat dari Renzo Novatore) tentang perjalanan hidup sang iconoclast Novatore dan kenangannya bersamanya, serta dilengkapi dengan catatan biografis dan pengantar dari Wolfi Landstreicher. Novatore pada masa itu dengan tegas menentang gereja beserta nilai-nilainya di masyarakat. Tak heran jika ia menjadi musuh nomor satu yang dicari-cari oleh otoritas dan orang-orang yang membencinya. Hingga akhir hayatnya, hari-harinya ia isi dengan pelarian dan pemberontakan, berpindah-pindah, menyebut dirinya sebagai pengembara intelektual yang kemudian ia tuangkan di salah satu karyanya. Salah satu tulisannya yang terkenal; Menuju Ketiadaan Kreatif. 1924. berisikan syair-syair puitis revolusioner yang menghentak. Penuh kritikan dan hinaan terhadap pemerintahan borjuis-kristian, peradaban demokratis, komunis, sosialis, hingga kaum proletar yang kemudian ia sebut sebagai katak-katak proletar yang menyedihkan. Ia mengatakan bahwa, untuk keluar dari jurang terdalam pembusukan sosial, masyarakat perlu untuk menegaskan individualitasnya, yang kemudian akan mengangkat manusia keluar dari batas-batas menuju puncak tertinggi kerohanian.

Tulisannya yang pertama saya baca adalah Menuju Badai. 1919. yang saya dapat dari seorang sahabat yang juga menjadi rekan saya dalam menterjemahkan Jeritan Pemberontakan. Ucapan terima kasih yang sangat saya persembahkan untuk sahabat saya Thomas. Dari sinilah kemudian muncul niat kuat saya untuk menterjemahkan karya-karyanya yang lain dan menerbitkannya ke dalam sebuah pamflet. Sebab, sulit untuk menemukan karya-karya anarkis kontemporer seperti ini, dengan gaya penulisan yang khas dan sangat agresif, tanpa romantisme atau moralisme, bisa disebut Futurisme, gaya sastra yang muncul pada awal abad kedua puluh, yang bertujuan untuk memutuskan hubungan dengan abad lalu dan menciptakan gaya baru yang sesuai dengan perubahan besar dalam dunia baru.

Mulai saya terjemahkan ke dalam bahasa indonesia sejak pertengahan tahun 2010 dan akhirnya berhasil saya rangkumkan menjelang akhir tahun 2011. Walaupun begitu, banyak kendala yang saya temui selama proses penerjemahan teks ini. Beberapa terminologi klasik dalam bahasa itali agak sulit untuk menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Inilah kendala utama yang paling sering dihadapi saat menterjemahkan teks-teks berbahasa inggris ke dalam bahasa indonesia. Oleh karena itu, beberapa kalimat diubah untuk mencari pengganti kata yang sesuai agar lebih memudahkan menanggapi, tetapi bersamaan dengan itu saya mencoba untuk tidak meninggalkan esensinya. Pamflet ini juga merupakan revisi terjemahan yang ke tiga dari bahasa itali ke bahasa inggris yang saya dapat kembali dari situs anarchyinitaly. Besar kemungkinan terjadi proses distorsi atau perubahan-perubahandi dalam karya-karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa selama beberapa tahun terakhir ini oleh berbagai kelompok dan individu-individu. Begitu pun pamflet ini, juga akan kehilangan originalitasnya. Saya tidak bisa memastikan atau menjanjikan kesempurnaan sejak saya menyadari kemampuan dan keterbatasan saya seorang diri.

Menentukan padanan kata yang paling tepat untuk menterjemahkan Toward The Creative Nothing yang aslinya dalam bahasa italia berjudul Verso il Nulla Creatore ternyata tidak mudah. Butuh waktu yang lumayan lama dengan sedikit banyak pertimbangan-pertimbangan hingga akhirnya saya memutuskan Menuju Ketiadaan Kreatifsebagai terjemahan dan judul yang paling tepat dan sekaligus mewujudkan dan merefleksikan teks-teks syair di dalamnya, seperti terlihat dalam sepenggal kalimat berikut ini “The abyss awaits us, we leap into it in the end: Toward the creative nothing”.

Novatore dalam beberapa karyanya menghina dengan sangat katak-katak proletar, yaitu mereka yang terus tereksploitasi dan tertindas oleh kaum borjuis tapi tetap tenang dan mengamininya seakan-akan itu menjadi sesuatu yang semestinya. Tapi, mengapa demikian? apakah ini kenapa Ia menyebut dirinya sebagai seorang anarkis individualis? Seorang egois? atau mereka yang tak meletakkan segala kepentingannya di atas orang banyak, mereka yang memperjuangkan keinginanya atas kehendaknyasendiri.

Ia tertarik dengan teori-teori yang dijelaskan oleh Stirner, khususnya konsepsi individualisme sebagaikebangkitan ego, tujuan tertinggi bagi seseorang dengan mengingat kepentingannya sendiri dankemudian mendefinisikan dirinya sebagai seorang "Individual One". Oleh karena itu, dari tahun 1908 dan seterusnya, ia menganggap dirinya sebagai seorang anarkis-individualis, seorang dengan pengaruh nihilis yang kuat.

Beberapa kutipan khas pemikiran Novatore adalah:

"Saya seorang anarkis-individualis, jadi saya tidak mau dan tidak akan mendukung perjuangan komunisme ateistik, karena saya tidak percaya pada elevasi agung orang-orang banyak dan saya menolak realisasi Anarki dipahami sebagai suatu bentuk kehidupan sosial bagi manusia. "

“Anarki bagi saya adalah jalan untuk mendapatkan realisasi manusia individual. Manusia Individual bukan berarti realisasi anarki. Jika itu benar, anarki tetap akan menjadi momok, jika impian manusia lemah akan anarki sebagai tatanan sosial, manusia yang kuat akan mengamalkannya sebagai Individualisasi.”

Salah satu pendapatnya adalah bahwa manusia, sebagai warga negara dan anggota masyarakat, selalu terancam oleh dua "momok" sosial: hak asasi manusia, yaitu Negara dan Kristus, itulah agama.

Ia menegaskan bahwa:

"Salib Kristus melambangkan KEMUNGKINAN kamu untuk menjadi MANUSIA, sedangkan’ hak-hak manusia’ melambangkan hal yang sama. Untuk Mencapai kesempurnaan yang pertama kamu perlu untuk menuhankan, yang kedua memanusiakan. Tetapi kedua hal tersebut jelas menyatakan ketidaksempurnaan manusia-individual. Ego sejati menegaskan bahwa hanya melalui realisasi ideal manusia dapat naik ke puncak kesempurnaan magis.

Kristus berkata kepadamu: “jikalau kau akan dengan sabar menunggu kesunyian kalvari untuk kemudian memakumu diatas salib, menjadi sosok seperti AKU, sang MANUSIA TUHAN, Kau akan menjadi manusia yang sempurna, layak duduk di sebelah kanan Bapa saya yang berada di kerajaan sorga”.

Dan Revolusi Perancis berkata kepadamu: Aku akan menyatakan hak-hak manusia. Jikalau kau akan dengan tulus masuk ke beranda (gereja), simboldari keadilan sosial manusia untuk menghaluskan dan memanusiawikan-mu melalui norma-norma moral kehidupan sosial, Kamu akan menjadi warga negara dan aku akan berikan hak asasimu, menyatakanmu sebagai manusia.

Tapi bila ada yang berani melemparkan nyala api ke atas salib dimana sang manusia Tuhan tergantung dan meja dimana hak asasi manusia dicatat miring untuk kemudian bersandar pada kemurnian kekuatan merdeka dari pusat poros kehidupan individual, ia akan menjadi seorang penjahat tidak beriman yang akan dibuang ke dalam rahang berdarah dari dua momok sosial menyeramkan: ketuhanan dan kemanusiaan.

Di sebelah kanan api sulfat dan jurang kekal neraka menghukum DOSA, disebelah kiri, bunyi membuat tuli dari gilotin menghukum KEJAHATAN.

Jadi, untuk agama dan Negara, manusia tidak akan pernah sempurna kecuali jika kau memutuskan untuk berlutut di depan dua momok sosial.

Novatore menganggap kerja-upahan hanyalah bentuk yang lebih halus dari perbudakan, dan ia sering berkata, ketika melihat pekerja yang lusuh dibalut keringat dan debu: "Apakah dia seorang manusia?." Jadi dia pikir, dalam filsafat pribadinya tentang hidup, bahwa ia memiliki hak untuk mengambil alih dari orang-orang kaya apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup sehari-hari, dan menggunakan paksaan bukan-lah masalah baginya. Ia kemudian menulis:

Aku bukan pengemis […]Aku hanya mengambil apa yang berhak untuk aku ambil dengan daya kemampuan-ku.

Pada bulan Mei 1919, kota La Spezia berada di bawah kendali Komite Revolusioner memproklamirkan diri, yang dirampas polisi dan pasukan borjuis selama beberapa minggu. Meskipun seorang individualis, Novatore (yang masih buron) berada di garis depan Komisi karena ia percaya bahwa hal yang paling penting adalah untuk menyalakan api revolusi di antara orang-orang dan memulai pemberontakan yang radikal menentang apa yang disebut status quo. Ia berkata.

-“Kau menantikan revolusi? Baiklah kalau begitu! Aku sendiri sudah mulai sejak lama! Bila kau telah siap –Oh, tuhan, betapa ini penantian yang tak ada habis-habisnya!– aku tidak keberatan berjalan denganmu untuk sementara! Tapi ketika kau berhenti aku akan melanjutkan kegilaanku dan berjalan dengan jaya menuju penaklukan besar dan mulia atas kehampaan!

Novatore, setelah pemberitahuan yang jelas bahwa tidak ada lagi tempat baginya di masyarakat, memiliki dua pilihan: bergabung dengan gerakan fasis dan menjadi warga negara yang baik, satu lagi domba di antara para domba atau melarikan diri ke Perancis seperti yang banyak dilakukan oleh rekan-rekannya yang lain. Novatore memilih pilihan ketiga: menjadi bandit dan pemberontak, berjuang hanya untuk dirinya sendiri di atas tebing dari setiap lembaga manusia. Tentu saja, meninggalkan istri tercinta, anak dan sahabat-sahabatnya adalah pilihan yang sulit baginya, tapi ia adalah seorang anarkis koheren sejati. Pada musim panas tahun 1922 ia bergabung dengan gerombolan perampok inspirasi anarkis yang terkenal: Sante Pollastro, dan dicari oleh polisi sebagai musuh masyarakat meskipun usianya masih muda.

Novatore menikah dan memiliki dua anak pada saat itu. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1918, putranyawafat, Novatore kembali ke rumahnya, mempertaruhkan penangkapannya hanya untuk memberikan ucapan perpisahan yang terakhir kepada jenazah si kecil. Kemudian ia pergi lagi. Selama musim panas 1919, Italia diguncang oleh sejumlah protes besar, pemogokan dan pemberontakan setempat terhadap kebijakan pemerintah yang mendatangkan malapetaka, represi berat dari polisi, biaya hidup yang tinggi dan kondisi menyedihkan dari kaum pekerja.

Peradaban industri kapitalis akan mencapai senjanya, dan ketika saat itu tiba, jiwa-jiwa bebas akan merayakan kegembiraannya dengan sebuah balada dan tarian senjakala.

Makassar 2012

Hidayat

Swatantra@riseup.net

2.11.12

Renzo Novatore

What is selfishness?

I asked about “what egoism means”. I should perhaps also have asked what egoism does not mean. For there are a lot of misconceptions about what egoism is. Religious literature incessantly warns us not to think about our own best interest, but the interest of the heavenly, of Man, and of just about everything else. But seldom is there found any advise to follow exactly this own interest. Why then these warnings against self interest, on and on, again and again? Surely not to counter any opposing system of ideas. For there have been close to none. What then is left to counter but — the individual himself! But to counter the individual is not a position that looks very good, so it has to be disguised, disguised as an attack on some “Deep Evil” lurking in self interest — in egoism. So the common view of egoism is far from formed by observation of actual egoists, but by propaganda in its disfavour. I therefore find it fruitful to list what I consider the types most typically mistaken for egoists, both by critics of egoism and by “egoists” themselves: THE PSYCHOPATH: The psychopath is characterised by a tendency of always being in the right and of manipulating others. He typically takes little heed of the interests of people he confronts. The reasoning displayed by those who identify psychopaths with egoists are usually of the type “He does not care for others — thus he must care only for himself ...”, which sets up a dichotomy without any basis in reality. Identifying an individual pursuing his own interests with a psychopath is a powerful means of keeping individuals “in line”. THE EGO-BOOSTER: Somewhat related to the psychopath, in that he tries to make himself “big” in the eyes of others often at the expense of some third person. But the Ego-Booster cares a lot about the judgement of others. In fact — he depends on it. Getting approval from other people dominates his way of life. His focus is not on himself, but on something else — his self image. THE MATERIALIST: The glutton, the carelessly promiscuous and the one who spends all his time gathering possessions is often seen as the egoist by people who have seen through the traps above. A friend of mine wrote in his thesis on Stirner that these were “vulgar egoists”. They sure enough care for their own interests. But they only care for part of their own interest, giving in to some urge to dominate them. They either care only for the taste in their mouths right-here-right-now, or for the feelings in other parts. They do not satisfy the whole chap, as Stirner wrote. THE IDEALIST: Not too typical, but still — important. Can range from the proponent of Fichte’s Absolute or Transcendental Ego, to the person who has as his sole goal in this life to spread his own ideas. The first of these is not a proper egoist in that the “I” he is talking about is not the personal, individual “I” but — an abstraction, the mere idea of an ego. The latter is just the materialist mentality let loose in the realm of ideas. THE FORMAL EGOIST: The formal egoist is perhaps the most elusively like to the proper egoist. For the formal egoist knows that an egoist looks to the satisfaction of the whole chap. Actually the formal egoist can know more about egoism than the egoist himself. For the formal egoist really wants to be an egoist — and he follows the recipe he has found to the last little detail, and sets out to find even new nuances. There is only one thing missing, and that is his realisation that there is no recipe. Egoism is not a religious or ideological system to be followed by duty, but simply the being and awareness of oneself. Now we have defined selfishness in the negative. How now about the positive; to what degree is egoism positively definable? First of all: What does it mean to “value oneself”, and is this what selfishness consists in? This problematic is in particular motivated by a comment from a subscriber, Jon Newton, in a discussion of whether egoism meant following some personal “axioms of value”. First of all, Jon commented that though underneath all “axioms” of evaluation there had to rest the deeper Valuing Subject him[/her]self, that would in no way imply that the Valuing Subject — as a consequence of that alone — had to have a higher value than even the axiom. Now, how is the above problematic solved, if at all? First, I think that declaring as an axiom that the Valuing Subject is of higher value, or to keep it in some other way as an “act of faith” would be a miss. This would be again — to place the act of evaluation as being mediated by the “axiom” or the “object of faith”. The Valuing Subject is the subject, and viewing something else — implicitly or explicitly — as the subject, is an act of alienation and untruth. This does, of course, tie in with the question of the value of truth, which I will address in an upcoming post. But let us assume that the person in question sees this, and can value or non-value it as he wants. No generality is lost by this approach. So the question is whether a person would or should value himself higher than anything or anyone else. It might be tempting, like so many have done, to say some sentence to the effect that if X is a necessary ground for valuing, the X is necessarily valued — or even the highest of values. In my case, substituting “oneself, the (Valuing) Subject” for X would thereby yield the claim that one should value oneself the most. But I do not think such an attempt via “a priori” judgement would get us very far if we were honest about it. For such an attempt would at best give us that I had a conditional value [derived, instrumental] from my values, and only for a certain limited period of time, given by these values. As an example, I could have valued the propagation of the species above all, and readily sacrifice myself when this goal did so require. All this without the contradiction an “a priori” argument like the above would require. * * * Instead, I propose we ask “What does it mean to value oneself the highest?” or “What does it mean to be an egoist?”. Indeed, what does it mean to “value myself” at all? One answer might be that to “value myself” means to value my existence. But “existence”? Now what is really that? An empty, eternal staring into blankness is still “existence”. But not what I would call very interesting, less even attractive. Something is missing. But what? Now, to “value myself” would mean, I suggest, to value that which makes life valuable to me. That means that when I enjoy a good book — when I do what I value the book for — I do not sit there (ho-hum) valuing my existence, accidentally having a book in front of my eyes; rather it means that through the act of valuing the book, which is what I value, I thereby do value myself. It is almost circular. I “value myself” when I value that which — I value. I value myself when I allow my own judgements of value qua (Valuing) Subject be what is in the end valued. In contrast, “not valuing myself” would mean to negate my own value judgements qua (Valuing) Subject. It would mean to let a Fixed Idea get the better of me and leave its judgement as the final or one instead of my own; it would mean to let the Fixed Idea brand my values as “sinful”, “un-human” etc. and — bow to it. * * * That was the theory. Now what is the practice? Lots of unresolved questions. Good. That’s one reason I created Non Serviam. But this gives a very different picture of the Egoist than what is normally being promoted throughout society. Society’s “Egoist” is nothing more than just another example of what I’d call a “spooked man”; a man who instead of plainly following his own interests — i.e. his own values — follows a Fixed Idea that is accidentally branded “My Own Interests”. Society’s “Egoist” is a charicature who does not pet cats since oh horror! — the cat might benefit from it too, who does not like other people other than as means to gaining material advantage — “for of course an Egoist can see no value in other people, his gaze is all directed at one person” — and who’s got as his prime imperative “Do not give to beggars!” As a contrast, let us take some real Egoist, as described by Stirner: He does not only enjoy people when they are safely packed away in material books, but also gets pretty charmed by the smile of a little baby. He pets cats for enjoyment, and loves to sit for a friendly chat with his friends — possibly over a glass of wine given to this friend. Think about it. If Egoism is not about making life as enjoyable as possible, i.e. about realising one’s values without interference from Fixed Ideas, what is it? Society’s charicature would soon find himself in a logical mess if he thought about this. Not only would he fade away in a Scrooge-like asceticism, but he would begin to wonder why this bugger tomorrow who incidentally identified himself-now with “himself-in-the-past” should ever get a little benefit from himself-now. He couldn’t even get a glass of water. * * * As for ever being able to “axiomatise” my own value judgements. Is it possible? Stirner certainly did not think so. “I create myself each day anew” and “I am the creative nothing” are sentences that express this existentialist sentiment. I lean to the same judgement, and do in particular not see present-day reductionism as a solution to the problem. First of all, I do not think reductionism is universally valid, and secondly, even if it were, our mere biology would probably be of such a nature as to make our values incapturable through fixed axioms at the level on which we normally live and breathe. The above paragraph is of course merely my opinions. I think that most arguments count in their favour, and hence adopt these opinions as “mine” at the present time. I used to be of the opposite opinion, i.e. that reductionism was the truth, but after a discussion with a friend who found reductionism to be untenable, we switched opinions — both of us! Anyhow, even given that for some period of my life my values were of the character that they could be axiomatised: Why should they? Would they ever express anything new in regards to my values? If they did, would not that mean they — contradicted them, and thus had become Fixed Ideas and — false? «The self must become concrete, and this it becomes through the process of action. [...] [T]he abstract man, as only general self, is abstract as long as he is not yet a proprietor. Only as proprietor is man a particular and real man.» — August von Cieszkowski Teleology of world history (ch.3, Prolegomena to Historiosophie)

Mutual Utilization: Relationship and Revolt in Max Stirner by Massimo Passamani*

In the panorama of studies of Stirner there are many silences — silences that, as often happens, communicate more than words. One such silence surrounds Stirner’s reflections on the theme of interpersonal relationships, reflections that form a genuine theory of life together. As is known, his considerations on relationships are contained in that section of The Unique and Its Property entitled “My Intercourse.” Stirner attributed great importance to the description of the relations that the Unique maintains with others, as the vast amount of space he dedicates to the topic shows (it is in fact the largest section in the book). Nonetheless, “My Intercourse” has been and is perhaps the least explored part of Stirner’s work. In any case, it is the least understood; a misunderstanding that Stirner himself already emphasized in the response to the critiques that Szeliga, Feuerbach and Hess had made of The Unique and Its Property. [1] In my opinion, a deep examination of the question of relationships in Stirner means not only studying what may be the most important part of his thought, but also confronting Stirner’s most significant themes from an anarchist point of view (a point of view that obviously doesn’t exhaust their complexity). “My Intercourse” contains his description of property (thus the critiques of the state, of Proudhon and of the communists), associative proposal of the union [2] of egoists (thus the judgment of the party, society and, more generally, hierarchical order), and the distinction between rebellion and revolution (thus the difference between demolition and the reformation of what exists). For the same sort of reasons, it would be useful to spend some time on some of the more important and recurrent criticisms of Stirner’s conception of relationships. In fact, though Stirner’s thought is the object of such criticisms, much of their content could be referred more generally to any conception that radically affirms the centrality of the individual. In Stirner, the awareness is clear that an extreme defense of individuality itself, before being a way of life, is way of understanding. When Stirner, drawing off Protagoras’ motto, maintains that “the individual is the measure of all things,” he means precisely that. One cannot understand his way of thinking about relationships between Uniques, if one doesn’t first understand his way of conceiving the world of the Unique. In the same way, one cannot understand the coming together of individual owners — the union of egoists — if one doesn’t first understand what Stirner means by individual owner. “Everyone is the center of his own world. World is only what he himself is not, but what belongs to him, is in a relationship with him, exists for him. “Everything turns around you; you are the center of the outer world and of the thought world. Your world extends as far as your capacity, and what you grasp is your own simply because you grasp it. You, the Unique, are ‘the Unique’ only together with ‘your property.’” [3] In my opinion, this passage summarizes The Unique and Its Property as a whole. Stirner’s way of understanding relationships between individuals, meaning mutual utilization, is only its logical and necessary consequence. Affirming that everyone is the center of his own world means denying any sort of authority and hierarchy, insofar as they claim to impose their centrality, and imposing a perspective different and opposed to that of the individual, despoil him of his property. Emphasizing the universality of uniqueness (in the sense that everyone is unique), Stirner does not set himself as the center, but as a center. Thus, uniqueness is closely connected to mutuality. When Stirner speaks of a world, he means the collection of relationships that the Unique maintains with those other than himself, be they things or persons. The centrality with respect to the world is therefore centrality with respect to his relationships, and these latter being the “mutuality, action, commercium among individuals,” [4] we see once again how centrality and mutuality presuppose each other. If everyone is “unique” only together with his “property,” then everyone is “unique” only together with his relationships (with his world). The term uniqueness therefore excludes absoluteness, in that absolute — ab-solutum — means precisely the lack of relationships, of connections. Thus the critique made against Stirner that he transformed the I of Fichte into an equally absolute individual collapses. In fact, the Fichtean I, like Feuerbach’s human being, is an essence outside of the particular individual, not the flesh and blood individual, “transient and mortal.” It is a transcendent being that presupposes perfect community among human beings, whereas Stirner speaks of a Unique whose community with others is only thinkable, not real. In reality, we, as Uniques, are irreducibly different. We come to be equal only if we pose a “third,” external and transcendent — like Humanity, God or the State — that mediates relationships between us. And hierarchy consists precisely of this “third”; I no longer value the other for what my relationship with him is, meaning what he is for me, but rather in relation to an entity that contains us and links us together. [5] If everyone, as unique, is exclusive and exclusivist, his existence cannot incline toward community, but rather toward one-sidedness. No longer having anything that unites us, we no longer have anything that separates us or makes us enemies. In fact, “the opposition disappears in complete — separateness or uniqueness.” [6] It is precisely the awareness of our one-sidedness (of having our own perspective) that allows us to rise up against hierarchy, against the order of dependence on which every state is based, and to lay the foundations for a new associative form — the union — based on radically different presuppositions. “Let’s not seek the most comprehensive community, ‘human society,’ but let’s seek in others only means and organs that we use as our property!” [7] In the “reduction” of the other to means, some have wanted to see a defense of exploitation [8], the negation of every form of non-conflictual relationship, the legitimation of a war that opens the way to “collective suicide.” [9] If one instead inserts it into Stirner’s conception of the world, one realizes that it is the only form of relationship that doesn’t deny the centrality of the individual and that is based on real mutuality. The typical form of religious alienation consists in attributing value to a person or a thing in the absolute sense, meaning independently of our relationship to it. The belief in a being that has value in itself and for itself, thus, worthy of our “enthusiasm,” absolutely interesting (i.e., an interesting object without and interested subject), presupposes the ideological “fixed idea” of a hierarchical order. In fact, I can consider a person absolutely deserving of love, respect, etc., only if I don’t consider her for herself, but place her in relation (and thus subordinate her) to a higher being — let’s say God, the state, or society — and consider as “part” of it. Thence, it is not the particular individual in its unrepeatable uniqueness with whom I enter into relationship, but rather the christian, the citizen, the member of society. Contrarily, seeking the value of every thing and every person within and not outside myself, I affirm my centrality in relation to the world, to my world. In this way, “If I cherish and care for you, because I love you, because my heart finds nourishment in you and my desire finds satisfaction in you, this is not for the sake of some higher being,... but out of egoistic pleasure: you yourself with your own being have value to me, because your essence is not a higher being, is not higher or more general than you, is unique as you yourself, because you are it.” [10] The awareness of one’s egoism, thus of one’s use of the other, comes to be the only way of recognizing and appreciating his value, those properties of his that, even though they don’t exhaust his uniqueness, communicate something — however non-essential — about him to me. And being, as I said, mutual use, each individual, each Unique, is the beginning and end of his relational activity. Precisely because, even from a biological point of view, I cannot take as a reference anything different from myself; what is other than me, I can only think of (and for Stirner, thought in its universality cannot grasp the peculiarity of the bodily and momentary I) as subject, but in the very moment that it crosses my path, it exists for me, and all that I seem to owe to it, I owe only to myself. Saying therefore that “For me you are nothing but my food, even as I too am fed upon and consumed by you,” [11] is not the expression of a paranoiac desire to crush (a relationship between “ruminants” as Kuno Fischer described it), but rather a calm affirmation of our centrality and our one-sidedness. It is important to note how Stirner, when he states that “we have have a single relationship with one another, that of usability, utility, use,” he emphasizes again and again the mutuality inherent in such relationships (as opposed to the hierarchical relationship that, posing absolute values, negates it). If I consider the other as “an object for which I may feel something or also nothing, a usable or non-usable subject,” with which to get on and reach an agreement “so as to increase my power through this alliance and be able to succeed, by uniting our forces, where one alone would fail,” I realize that it is not only a matter of a mutual utilization, but also of a utilizable mutuality. [12] The deliberate stress that Stirner places on the usability of the relationships that the Unique maintains with the other only aims to emphasize how in the relationship between individual owners there is a mutual interest in the person and not, as morality and religion claim, a mutual renunciation. Real love, as opposed to idealized love, is a self-interested emotion and not an act of self-denial. In fact, “we want to love because we feel love, because love is pleasant to our heart and our senses, and in love for the other person we feel a higher enjoyment of ourselves.” [13] It is the same love for the other that leads me to “joyfully sacrifice for him innumerable pleasures of mine,” to “give up innumerable things to see his smile blossom again,” and to “put at risk for him the thing that, if he were not there, would be the dearest thing in the world to me: my life or my well-being or my freedom. Or rather my pleasure and my happiness consist precisely in the enjoyment of his happiness and pleasure.” “But,” Stirner emphasizes, “there is something that I don’t sacrifice to him: myself; I remain an egoist and enjoy him.” [14] The charge Stirner makes against all those improvers of humanity — like Baron von Stein [15] — who preach the principle of love is significant: “You love human beings, so you torment the individual human being, the egoist: your love of humanity is cruelty to human beings.” [16] If “every religion is a cult of society, this principle, by which the social (civilized) human being is dominated,” [17] the awareness of egoism and the refusal of self-renunciation can only lead Stirner to elucidate a new form of associative relation, the union of egoists. Once the state and society are negated as historical forms of mediated life together that transcend the individual and are therefore alienated, associative relationships have to have completely different characteristics. The main element is that the individual associates for her own individual interests and not for a hierarchical and extortionist “common good.” For Stirner, society is only an additional product of individuals whose interests are unique. Thinking of society — as Proudhon himself does — as a collective subject, as an “ethical person,” means condemning the particular individual, in the name of a religious general interest, to one of the worst forms of despotism. [18] The Unique doesn’t want to be made the object of collective ends, becoming a tool of society, but rather considers society as one of his means. As B. R. Tucker rightly maintained: “Society is not a person nor a thing, but a relation; and a relation can have no rights,” [19] nor — I would add — can it impose duties. But since, for Stirner, established society cannot block the individual from making value of herself, nor can the future societies promised by socialists and communists expropriate him of his property, the separation from the social order must be so complete and decisive as to “bring about the end of separation itself” and be overturned in federation, [20] in union. In fact, “as the Unique, you can assert yourself only in the union, because the union doesn’t possess you, but rather you possess it or make use of it.” Property only gets recognized in it, because I no longer hold what is my own as a fief from any being, [21] but I myself am to be its source and its self-guarantee. Private “property,” on the other hand, is only a state concession, a fief that transforms the individual “owner” into a vassal; it is the political form of pauperism and vassalage. Only once the “war of all against all” — which isn’t a form of expanded domination, but the calm acceptance of the conflict of interests — is declared, the union will be able to be born as the “multiplier” of individual powers, as a tool, as a “sword” for increasing one’s capacities and thus, since everyone is unique only together with his property, and thus reinforce the feeling of uniqueness. The choice of association must be voluntary, just as the breaking of the associative agreement must be free and voluntary. By associating, the particular individual doesn’t renounce his own individuality, as occurs in society, but on the contrary, affirms it in all its fullness. When an individual needs to unite with others to achieve a specific objective (a need that is not at all contradictory, or better, paradoxical with regards to one’s being unique), what may appear to be a sacrifice — as a limitation of his freedom would appear — is only a deployment of his powers. In fact, not being able to meet all of her needs by herself, by associating he only sacrifices what he does not possess, i.e., she “doesn’t sacrifice a goddamn thing.” To put it another way: not having the freedom “to do it by himself,” it’s not possible to maintain that he sacrifices it by uniting (and obviously coming to an agreement) with others. In each instance, if one wants to speak of limitations as such, what is reduced in the union is freedom (but it’s a case of mutual restrictions not determined by authority and the sacred as happens in the state and the church), not one’s individuality. For Stirner, “the ideal of ‘absolute freedom’ expresses the absurdity of every absolute.” Only one who thinks — religiously — of freedom as an absolute could fail to perceive the differences between a form of relationship that guarantees to everyone the expression of their exclusivity (and doesn’t limit their freedom except with those rules that are inherent to the relationship itself) [22] and a communitarian order which — as something sacred — is based on subjection and the lack of individual self-valorization. Since the union, unlike society, the state or the church has no existence autonomous from the particular individuals who compose it, its duration is determined by the interests of the “participants.” It is therefore a “unceasing coming-back-together” as opposed to the “already-being-together” typical of (and foundational to) every hierarchical relationship. A “taking-part” in a game to which one contributes to establishing the rules, as opposed to a “being-part” of a social order that presents itself as authority and imposes its laws. The union is not only an alternative to society, but also a tool for rising up, for rebelling against hierarchy, authority, the state (a word which Stirner often uses to indicate the entire existing order). Considered both as a relational form and as a counter-association, the union is closely connected to rebellion. If “my egoism has an interest in liberating the world so that it becomes — my property,” [23] the demolition of what exists, the overturning of given conditions, while being inevitable consequences of rebellion, don’t exhaust my incentive for insurrection, which is the only way to affirm my centrality in the world, and thus in my relations. Without insurrection I cannot create relations that are not mediated, by God or by the state, “mutual relationships such that everyone..., in these relationships, can be truly what he is.” [24] Equally, without my egoistic will to rise up, the union against authority and hierarchy ceases to be my tool and ends up becoming — “just as from a thought a fixed idea arises” — a higher being, a party. Only a form of relationship that affirms the uniqueness of the particular individual is able to avoid reproducing the order of dependence within itself. The Unique cannot oppose hierarchy through a means — the party — that is only “a state within the state,” “a ready-made society” for which he is supposed to renounce his own individuality. This battle can also take place with “millions of people together” [25]; what matters is that the multitude is not transformed into the subject, into that “all” which preserves the traits of transcendence and, thus, of mediation. What opposes mutuality — the Mann gegen Mann [26] relationship that, alone, can confirm uniqueness — to hierarchy is not the number, either positively or negatively. In fact, and I think this is very important, a “collective” dimension (in the sense of I+I+I...) with an individualistic character can be created, just like an individual dimension with a collectivist and alienating character can be created. What distinguishes the defense of individual autonomy from the formation of domination is the associative method. But Stirner, when he speaks of the relationship, of the union of Uniques, refers only to the “form” of such relations: a form that is able to guarantee the centrality of each one. “For Stirner, going beyond the ‘formal’ moment means going back to creating spooks, legitimizing domination, making space for the magic circle,” [27] meaning that moment of alienation that gets created in the dichotomy between being and having-to-be, between existence and essence. Precisely by not creating a new heaven, a new mission, Stirner holds that the contents of the union, the rules of play, will be the exclusive property of the Uniques. If Stirner’s “political” dimension can seem like a utopia, it remains, as the relational world of the Unique, thence of a “who” that cannot be described, an “empty” utopia. The one-sidedness, the separateness of each Unique still remains (or rather, only becomes complete) in the union. Thus, one cannot make uniqueness correspond with isolation. The individual who associates is no less an egoist than the one who prefers to “stand alone”; what changes is the object of her egoism. [28] If one unites with others, it is because he finds in their company a reason for interest, for enjoyment. If one prefers to isolate himself, it means that human beings no longer have anything to offer her. “Remaining is no less egoistic than isolating oneself.” [29] The distinction is therefore not between egoism and non-egoism, but, if you will, between a “poor” egoism and a “rich” egoism. “One who loves a human being,” Stirner says, “through this same love is richer than another who doesn’t love anyone,” since she has one more “property.” Stirner’s egoism is thus full participation in life, in relationships with others. Alongside the charge that he wanted to “atomize” individuals, the charge that Stirner, with his union of egoists, limits himself to proposing only a variant in terminology of capitalist society, a mirror image, however extreme, of the bourgeois order, [30] also shows all its inconsistencies. Stirner, after showing the ideological “glue” of capitalist society is humanistic morality (an internal “sanctimonious priest” who preaches sacrifice), maintains that if one had a more aware egoism, one would take into account that “cooperation is more useful than isolation” and that the abandonment of “competition” — that hidden conflict, as mediated by the state — is nothing but a response to a higher feeling of our uniqueness. In the union of egoists, exploitation (“assertion at the expense of others”) is eliminated as soon as the co-associates, equally aware egoists, “no longer want to be such fools as to let anyone live at their expense.” [31] In a careful reading of Stirner’s thought, it also seems obvious that one cannot associate the interests of the Unique with liberal utilitarianism. [32] Bentham’s arithmetic of pleasures still consists of a belief in a thing that is interesting in the absolute sense, meaning a belief in a “sacred” thing. And we know how for Stirner, any behavior toward something as interesting in itself and for itself is always religious behavior. [33] For Stirner, self-interest is not a principle, it is “a mere name, a concept empty of content, utterly lacking any conceptual development.” [34] In the eyes of our philosopher, “the moral system of self-interest condemns the real self-interest of particular individuals, in much the same way as the supposed universality of reason forces ‘private reason’ to submit.” [35] From this obviously incomplete picture I’ve drawn of relationship and association as found in Stirner one can, I think, understand how it isn’t possible to transform the union of egoists into a bellum omnium contra omnes that does nothing but again propose the domination of human being over human being as the sole form of life together. The Unique of whom Stirner speaks is not moved in her relations with others by the “pleasure of being rude” that characterizes Dostoevsky’s character from the underground. What drives her is not at all the need for the impossible of that inexorable appétit d’être that leads Camus’ Caligula to state that “One is always free at someone else’s expense.” Also foreign to Stirner is that fear of death which, in Canetti’s account, the sultan of Delhi is striving to defeat when he decides to raze the city to the ground in order to enjoy an instant of that “solitary uniqueness” that comes from the “feeling of having survived all men.” [36] Stirner “doesn’t defend the power of the individual to dominate others.” [37] since he shows in an extremely significant way that the exercise of domination is a strongly de-individualizing practice. And since “whoever has to count on the lack of will in others in order to exist, is a shoddy product of these others, as the master is a shoddy product of the slave,” [38] domination comes to be a form of individual disempowerment. And this disempowerment is also accompanied by a process of alienation in that the force of the individual gets subordinated to the proof of the inferiority of others. The desire to dominate [39] consists of the pleasure of prevailing over others, i.e., the effort of escaping a condition that one perceives as equality. If, instead, one is aware of one’s own exclusivity, of one’s being irreducibly different from every one else, one can only reject the craving for “superiority” as a homogenizing principle. The power of which Stirner speaks is the capacity to place oneself before others as an individual, without having recourse to the “convenient bulwark of authority.” In fact, one is quite weak (and incomplete) if one must summon (or needs to be) an authority. [40] Only in the negation of authority can the individual reject the alienated life of the docile, usable citizen, the ruler’s subject who leads an existence that moves to the rhythms of service. There’s no need to emphasize how many similarities there are between Stirner’s union and anti-authoritarian associational conceptions. It’s no accident that the anarchist thinkers [41] who have most consistently harked back to Stirner are the ones who have perhaps contributed the most to the description of acratic contractualism. The notion — for example — of “the method of equal liberty” recalls much that is close to Stirner’s thesis of the equal inequality in the relations between Uniques. Drawing on a theme already developed by E. de La Boetie, that of voluntary servitude, Stirner affirms that “When subservience ceases to be, it will be all over rulership as well!” and after proposing insurrection as the sole solution to the “social question,” he adds in reproach: “If the rich exist, it is the fault of the poor.” A few years later, the anarchist Bellagarigue wrote: “Have you believed that up to today there have been tyrants? Well, you are still wrong, because there are only slaves: where no one obeys, no one commands.” [42] Stirner notes how domination and hierarchy, along with (or perhaps before) being a structuring of inter-individual power, are forms of intra-individual alienation, the process of internalizing the “sacred.” It is in social customs, seen as forms of the “compulsion to repeat,” that he identifies the continuous reproduction of alienation. Thus, between individual owners who refuse subordination before any social order — with its customs, its models of behavior — the only possible relationships are those based on the — contrived, precarious, and always changeable — balance between the egoisms of individuals. Associative relations cannot be based on the imposition of a fictitious equality, nor can a higher synthesis be created between the individual powers. Stirner radically negates any theory of the identification of the individual with the collectivity, of the supersession of the individual in the social. Every individual conscious of his uniqueness will always be ready to rise up against any attempt to settle, through whatever form of authoritarian “fixed idea,” the antagonism between individuals. [43] Rebellion, then, is not just a transitional phase from society to the union, but rather an attitude of constant insurrection against every power, against every heaven, that debases one’s inalienable exclusivity. Without a continuous, extremist of one’s autonomy, there could certainly be a revolution, but it would still just be a reform of the existent. At the basis of Stirner’s ideas on relationships, there is the clear awareness of the irreconcilability between the conception of those who hold that only the establishment of order can guarantee liberty and those who instead affirm that from liberty alone can order be born. It is a matter, if you will, of the eternal conflict between synthesis and balance, between authority and liberty. And there should be no more doubt about where to place Stirner in this conflict. [1] Max Stirner, Stirner’s Critics [2] It’s important to not that both the Italian word “unione,” which Passamani uses, and the German word “Verein,” which Stirner uses have no connection whatsoever to labor unions. — Translator’s note. [3] Stirner, op.cit. [4] Max Stirner, The Unique and Its Property, in “My Intercourse.” [5] It’s no accident that Stirner emphasized the mediating nature of the state seen as one of the greatest expressions of hierarchy. [6] Ibid., in “My Power.” [7] Ibid., in “My Intercourse.” [8] M. Hess, The Last Philosophers. [9] Albert Camus, The Rebel. [10] Stirner, The Unique and Its Property, in “The Possessed.” [11] Ibid., in “My Intercourse.” [12] The preceding passages are all to be found in “My Intercourse” in Stirner’s book. [13] Stirner, The Philosophical Reactionaries [14] The Unique and Its Property, in “My Intercourse.” [15] The liberal at who Stirner takes aim in his essay “Some Preliminary Notes on the Love-State.” [16] The Unique and Its Property, in “My Intercourse.” [17] Ibid., in “My Intercourse.” [18] Before Stirner, the American anarchist, Josiah Warren, summarized his thought using the formula of “individual sovereignty” as opposed to the liberal formula of “popular sovereignty,” the foundation of the 1776 declaration of independence. Not randomly. The ideological appearance of domination always revolves around an abstract collective being; thus, the only way to eliminate archism in all its forms is to bring the notions of liberty, autonomy, independence back to the particular individual. The basis of all modern dictatorship is represented by Rousseau’s “general will.” It could only be something concrete if it was the product of all the individual wills. But for Rousseau, the general will is not the will of everyone, but rather something transcendent, right and infallible, independent of individual wills. Appropriately, Rocker described it as a form of political Providence. The Jacobin, marxist and Nazi dictatorships are merely different methods for using the same instrument of power: the cult of the general good. The usefulness of Stirner’s thought for demystifying the hierarchical blackmail of the democratic system seems obvious. [19] Benjamin Tucker, Individual Liberty. [20] Stirner, The Unique and Its Property. In the same way, Warren maintained that the sole terrain on which acratic relations can be established is that of “disassociation, disunion, individualization.” [21] See ibid., in “My Intercourse.” [22] The limits consist in relational, not moral, obligations, methodological obligations, not duties. [23] The Unique and Its Property, in “My Intercourse.” [24] Ibid. [25] So much so that there have been those who, by jerking his thought around quite a bit, have made of Stirner a precursor of revolutionary syndicalism. [26] In German in the original. Literally “man against man.” — Transalator’s note. [27] So writes R. Escobar in Il cerchio magico. Max Stirner: la politica dalla gerarchia alla reciprocità (The Magic Circle, Max Stirner: Politics from Hierarchy to Mutuality), ed. Franco Angeli, Milano, Italy, 1986, page 15. My considerations in this writing are freely inspired by Escobar’s study. [28] Isolating oneself and associating are only different forms of relationships. Even solitude — Ortega y Gasset maintained — is a relationship, in which one participates in the form of absence. [29] Stirner, Stirner’s Critics [30] This is Moses Hess’ thesis, taken back up by Marx and Engels in The German Ideology, and later repeated by (almost) all marxist scholars who are interested in Stirner. [31] Stirner, Stirner’s Critics [32] Marx and Engels portrayed Stirner’s thought as the final, degenerated landing-place of liberal utilitarianism. See The German Ideology. [33] Stirner, Stirner’s Critics. [34] Ibid. [35] F. Andolfi, “Egoismo e solidarietà sociale: riflessioni su Stirner” (“Egoism and Social Solidarity: Reflections on Stirner”), in Nietzsche-Stirner, pg. 163. [36] See Dostoevsky, Notes from the Underground; Camus, Caligula; Canetti, Power and Survival. Stirner’s influence on Dostoevsky’s characters, as well as on Camus’ The Rebel and Caligula, have been pointed out by other authors. For the Dostoevsky-Stirner connection, see R. Calasso, “The Artificial Barbarian” in The Ruin of Kasch; J. Carroll Breakout from the Crystal Palace: The Anarcho-psychological Critique: Stirner, Nietzsche, Dostoevsky; F. Andolfi, op.cit. For the Camus-Stirner connection, see F. Andolfi; G. Penzo, Max Stirner: la rivolta esistentiale (Max Stirner: The Existentialist Revolt); R. Escobar, op.cit. But it seems to me that no one has pointed out Canetti’s references to Stirner. And yet in his way of presenting the figure of the sultan, it seems to me that there is a clear reference to Stirner. [37] J. Carroll, op.cit. [38] Max Stirner, The Unique and Its Property, in “My Power.” [39] According to Camus, a “désir de domination” is what drives Stirner (see The Rebel) [40] Stirner’s refusal of the principle of authority is contained in the essay The False Principle of Our Education or Humanism or Realism. [41] I am referring specifically to Benjamin Tucker, Stephen Byington and Emile Armand. [42] Anselme Bellegarrigue, (The World’s First) Anarchist Manifesto. [43] It seems to me that the distinction between the balance of antagonisms and order based on imposition recalls, if I am allowed to hazard a comparison, the difference between the harmony of opposing tensions of Heraclitus and Empedocles’ harmony, a unity based on the cyclic predominance of one element over the other, of philia (love) over neîkos (strife) and vice versa. *All quotes from Stirner are my own translation. I have completed an English translation of Stirner’s Critics and The Philosophical Reactionaries, though neither has yet been published in book form, and I am working on a translation of Der Einzige und Sein Eigenthum, under the title (used here) of The Unique and Its Property. — W.L., translator https://sites.google.com/site/vagabondtheorist/stirner/mutual-utilization-relationship-and-revolt-in-max-stirner

5.10.11

Menuju Ketiadaan Kreatif



I

Masa kami adalah masa dekadensi. Peradaban kolot borjuis kristian telah mencapai akhir dari kehancuran evolusinya yang lama.

Demokrasi telah tiba!

Tetapi di bawah kemegahan palsu peradaban demokrasi, nilai-nilai tertinggi kerohanian telah jatuh, hancur.

Kekuatan hasrat, kemurnian individualitas, seni yang bebas, kepahlawanan, kejeniusan, puisi telah dihina, diejek, difitnah.

Dan tidak atas nama "Aku", tapi "kolektif". Tidak atas nama "yang khas", tapi masyarakat.

Dengan demikian kekristenan- mengutuk naluri alami yang liar dan primitif- dengan penuh semangat membunuh "konsep" pagan dari kegembiraannya di bumi. Demokrasi – adalah keturunannya – memuliakan dirinya dengan membuat pembenaran terhadap tindak kejahatannya sendiri dan bersuka ria dalam kekejaman yang suram dan vulgar.

kami sudah tahu!

Kekristenan dengan kejamnya menikamkan pisau beracun di tubuh menggigil dari seluruh umat manusia yang sehat; mendorong gelombang dingin kegelapan dengan kemarahan mistis brutal menuju ketenteraman yang suram dan kegembiraan yang meluap dari ruh dionysian leluhur pagan kami.

Di suatu malam yang dingin, musim dingin yang fatal jatuh pada suatu siang yang hangat di musim panas. Ia adalah kekristenan yang, menggantikan khayalan "tuhan" terhadap getaran realitas "aku", menyatakan dirinya sebagai musuh sengit terhadap kesenangan hidup dan membalas dendamnya dengan tidak jujur pada kehidupan duniawi.
Dengan kekristenan, Kehidupan dikirim ke dukacita dalam jurang mengerikan akan pengorbanan-pengorbanan paling pahit; ia didorong menuju gletser pengingkaran dan kematian. Dan dari gletser pengingkaran dan kematian ini, demokrasi dilahirkan.

Jadi demokrasi –adalah ibu dari sosialisme – dan putri dari kekristenan.

II

Dengan kemenangan dari peradaban demokratis, Kerohanian Massa dimuliakan. Dengan dahsyatnya demokrasi-anti-individualisme yang tidak mampu memahami hal itu kemudian menginjak semua keindahan heroik dari anti-kolektif dan kreatif "aku".
Kodok-Kodok Borjuis dan katak-katak Proletar saling menggenggam tangan dalam kehinaan rohaninya bersama, dengan penuh iman menerima komuni canting berisikan timbal licin kebohongan sosial yang diserahkan oleh demokrasi kepada masing-masing mereka.

Dan lagu yang dilantunkan oleh kaum borjuis dan proletar atas kebangkitan komuni rohani-nya adalah lagu dangkal dan berisik, "Hore!" untuk Kemenangan dan kejayaan para Angsa.

Dan sementara "sorakan kegembiraan!" yang meledak keras dan hingar-bingarnya, - demokrasi – mengecapkan “kolot” di dahinya, memproklamirkan – kebuasan dan ironi suram- persamaan hak atas manusia!

Pada saat itulah sang Elang, dalam hati nuraninya yang bijaksana, mengepakkan sayap titanium-nya lebih cepat, lebih tinggi - jijik dengan kinerja sepele - menuju puncak meditasi.

Dengan demikian, Angsa demokratis masih sebagai ratu penolong dunia, wanita dari segala sesuatu, nyonya kekaisaran dan kedaulatan.

Tapi sejak sesuatu menanti diatas tawanya, ia – atas pertolongan sosialisme, putra sejatinya – bergerak melempar batu dan kata, di dunia rendah berawa, dimana kodok dan katak bergemuruh, untuk membangkitkan ajang baku hantam materialis dalam rangka menciptakan perang titan melalui ide-ide dan spiritualitas luar biasa. Dan di rawa, baku hantam terjadi. Perang itu terlihat kolot, seperti menyemprot lumpur sangat tinggi hingga menodai bintang-bintang.

Dengan demikian , semuanya telah terkontaminasi oleh demokrasi.

Semuanya!

Bahkan yang terbaik disini.

Bahkan yang terburuk disini.

Dalam pemerintahan demokrasi, perjuangan yang dibuka antara buruh dan pemodal menjadi perjuangan yang kerdil, momok perang yang impoten, kehilangan semua isi akan spiritualitas tinggi dan kebesaran revolusioner pemberani, tak dapat menciptakan konsep berbeda tentang sebuah kehidupan yang kuat dan lebih indah.
Borjuis dan proletar, meskipun berselisih-paham atas persoalan kelas, kekuasaan dan kebutuhan, masih selalu bersatu dalam kebenciannya melawan para pengembara besar spiritual, melawan cita-cita yang dikurung, Melawan mereka semua yang terkena dampak pemikiran, melawan mereka semua yang diubah oleh keindahan superior.
Dengan peradaban demokratis, Kristus berjaya.

Di samping firdaus di surga, " roh kaum miskin " memiliki demokrasi di atas bumi.

Jika kemenangan belum juga tercapai, sosialisme akan melengkapinya. Dalam konsepsi teoritisnya, yang telah ia beri-tahukan sejak lama, yang bertujuan untuk " meratakan" semua nilai manusia.

Dengarlah, oh roh kaum muda!

Perang terhadap individual manusia dimulai oleh Kristus atas nama Tuhan, dilanjutkan oleh demokrasi atas nama masyarakat dan sosialisme mengancam untuk melengkapinya atas nama kemanusiaan.

Jika saat ini kami belum tahu bagaimana menghancurkan ketiga hal mustahil tersebut yang sama berbahayanya dengan momok sosial, (jiwa) individual tak dapat terelakkan, akan hilang.

adalah hal yang penting dimana pemberontakan "ku" berkembang, meluas, dan men-general dengan sendirinya!

Kami - para pendahulu waktu - telah menyalakan menara api!

Kami telah menyalakan obor pemikiran.

Kami telah mengacungkan kapak sebagai tindakan.

Kami telah mendobrak.

Dan kami telah terlepas dari belenggu.

Tetapi "kejahatan" individual kami harus menjadi berita fatal akan badai sosial hebat.

Badai hebat dan mengerikan yang akan menghancurkan semua struktur kebohongan konvensional, yang akan melepaskan engsel dari semua dinding kemunafikan, dan mereduksi dunia lama menjadi timbunan puing-puing dan asap reruntuhan!

Karena ini berasal dari reruntuhan Tuhan, masyarakat, keluarga dan kemanusiaan dimana pikiran manusia baru bisa tumbuh dan berkembang, dimana pikiran manusia yang baru - pada puing-puing dari semua masa lalu - akan menyanyikan kelahiran dari manusia merdeka: bebas dan besar, "aku".


III

Kristus adalah paradoks kesalah-pahaman Injil. Ia adalah rasa sedih dan fenomena dekadensi menyedihkan, yang lahir dari kelelahan kaum pagan.

Antikristus adalah anak yang subur dengan semua rasa benci yang hebat atas tumbuh besar dalam kerahasiaan payudaranya sendiri yang subur, selama lebih dua puluh abad pemerintahan kristian.

Karena sejarah telah kembali.

Karena kembali kekal adalah hukum yang mengatur alam semesta.

Inilah takdir dunia!

Inilah poros dimana kehidupan itu berputar!

Untuk kekekalannya.

Untuk perjalanan kembalinya.

Untuk pertentangannya.

Untuk pengejarannya.

Untuk tidak mati.

Karena hidup adalah gerakan, tindakan.

Yang mengejar pemikirannya.

Yang merindukan pemikirannya.

Yang mencintai pemikirannya.

Dan kehidupan sedang berjalan, berlari, tergesa-gesa.

Hidup menghendaki kegemparan dalam kerajaan ide.
Tapi ketika cara ini tidak praktis,maka, pikiran menangis. Ia menangis dan putus asa ...

Kemudian keletihan membuatnya lemah, menjadikannya kristian.

Kemudian mengambil hidup saudara perempuannya di tangannya dan mencari batasnya di alam kematian.

Tapi Antikristus - naluri semangat paling misterius dan mendalam - panggilan Hidup kembali padanya, gemuruh sorak-sorai untuknya: Ayo kita mulai lagi!

Dan Kehidupan dimulai lagi!
Karena ia tidak ingin mati.

Dan jika Kristus melambangkan keletihan hidup, terbenamnya pemikiran: kematian ide!

Antikristus melambangkan insting kehidupan.

Ia melambangkan kebangkitan pemikiran.

Antikristus adalah simbol dari fajar baru.

IV

Jika peradaban sekarat demokratik (borjuis-kristian-kolot) berhasil meratakan pikiran manusia, menyangkal setiap nilai spiritual tinggi yang berdiri di atasnya, yang- untungnya - tidak berhasil meratakan perbedaan kelas, hak istimewa, dan kasta , dimana - seperti yang telah kami katakan – hanya menyisahkan persoalan atas perut (the belly).

Sejak - satu kelas sama seperti yang lainnya – sisa perut- penting untuk mengakuinya dan tidak hanya mengakuinya sebagai ideal tertinggi. Dan sosialisme memahami semua ini.

Ia memahami ini, karena ia adalah seorang ahli - dan akhirnya, boleh jadi, praktis berguna - spekulan, ia memasukkan racun ajaran kasarnya tentang kesetaraan (kutu-kutu kesetaraan dihadapan keagungan suci negara berdaulat) ke dalam sumur perbudakan dimana mereka yang tak bersalah dengan penuh kegembiraan memuaskan rasa hausnya.

Tapi racun sosialisme yang menyebar itu bukanlah racun “kuat” yang mampu memberikan kebajikan heroik bagi siapa saja yang meminumnya.

Bukan: Ia bukan racun radikal yang mampu melakukan keajaiban dengan mengangkat pikiran manusia – mengubahnya dan membebaskannya. Sebaliknya ia adalah perpaduan dari "ya" dan "tidak". Campuran kelabu dari "otoritas" dan "iman", dari "negara" dan "masa depan".

Sehingga, melalui sosialisme, kaum proletar sekali lagi merasa dekat dengan kaum borjuis dan bersama-sama mereka berbalik menuju cakrawala, dan dengan setia menunggu Matahari Masa Depan!

Dan ini karena, disaat sosialisme tak dapat mengubah tangan-tangan menggigil budak menjadi cakar-cakar kejam dan beringas ikonoklastik, ia juga tak mampu mengubah arti keserakahan tirani menjadi ketinggian dan kebajikan superior dari kedermawanan.

Dengan sosialisme, korupsi dan lingkaran mengikat yang diciptakan oleh kristian dan dikembangkan oleh demokrasi tidak akan rusak. Sebaliknya, ia menyempurnakan dirinya lebih baik.

Sosialisme tetap menjadi jembatan yang berbahaya dan tidak praktis antara tirani dan budak; seperti sederetan hubungan palsu, seperti ambiguitas dari "ya" dan "tidak" dimana prinsip absurd yang mendasarinya dicampur.

Dan, sekali lagi, kami melihat lelucon cabul parah yang menjijikkan kami. Kami melihat sosialisme, proletariat dan borjuis, bersama-sama masuk kembali ke dalam orbit kemiskinan spiritual terendah untuk menyembah demokrasi. Tetapi demokrasi - menjadi orang yang mengatur rakyatnya dengan pukulan pentungan - untuk cinta setiap orang seperti suatu hari ketika Oscar Wilde bercanda –adalah logis bila jiwa-jiwa bebas sejati, dari pengembara ide yang agung, merasa benar-benar perlu untuk mendorong dengan jelas menuju batas ekstrim ikonoklasme-nya keluar dari kesendirian untuk mempersiapkan melatih jari sang manusia elang di gurun sunyi, mereka yang mati-matian akan mengambil bagian pada perayaan tragis senja sosial untuk menggulingkan peradaban demokratis dengan cakar-cakar bajanya, dan terjun ke dalam kehampaan zaman yang kuno.

V

Ketika kaum borjuis berlutut di sisi kanan sosialisme dalam kuil suci demokrasi, mereka berbaring tenang di tempat tidur pengharapan untuk menidurkan tidur absurd mereka tentang perdamaian. Tetapi kaum proletar, yang telah kehilangan kebahagiaan murninya dengan meminum racun sosialis, berteriak dari sisi kiri, mengganggu tidur tenang para idiot, penjahat borjuasi.

Sementara itu, di puncak pemikiran tertinggi, para pengembara ide mengatasi kemuakannya, mengumumkan bahwa sesuatu seperti deru tawa Zarathustra menggema begitu menakutkan.

Angin roh, mirip badai, akan menembus pikiran manusia dan menaikkanya dengan kekuatan yang besar ke dalam badai angin ide untuk membanjiri semua nilai-nilai lama dari kegelapan waktu, mengangkat naluri kehidupan yang disublimasikan kembali dibawah sinar matahari dengan pikiran baru.

Tapi, sadarlah, para kodok-kodok borjuis mengetahui bahwa sesuatu yang tak dapat dimengerti berseru di ketinggian, mengancam keberadaan basisnya. Ya: mereka memahami bahwa sesuatu yang datang dari ketinggian itu seperti batu, raungan, dan ancaman.

Mereka memahami bahwa hingar bingar suara-suara setan adalah pertanda waktu yang mengumumkan badai amarahnya, yang timbul dari kehendak baru akan beberapa hal tertentu, diledakkan ditengah-tengah masyarakat untuk diratakan dengan tanah.
Tapi mereka tidak memahami (dan tidak akan pernah mengerti sampai akhirnya mereka hancur) bahwa apa yang melintasi dunia adalah sayap kuat akan kehidupan bebas yang mana menjadi ajal dari "kaum borjuis" dan " kaum proletar ", karena setiap orang bisa saja "khas" dan "universal" di saat yang sama.

Dan inilah alasan mengapa seluruh borjuis di dunia menderingkan loncengnya yang terbuat dari logam idealis palsu, diantara kerumunan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai jemaah agung.

Pertemuan itu terbuka ...

Semua borjuasi berkumpul.

Mereka berkumpul diantara kerumunan menjijikkan yang bertambah di rawa tempatnya berada, dan disana, di keheningan lumpur, mereka memutuskan pemusnahan katak-katak proletar, para budak dan rekan-rekannya.

Semua pihak komplotan buas itu adalah pengikut Kristus dan demokrasi.
Semua rasul terdahulu dari para katak juga hadir. Perang telah diputuskan dan sang pangeran ular hitam memberkati para pasukan perang saudara atas nama Tuhan yang mengatakan, "Jangan membunuh", sedangkan vikaris simbolis kematian memohon kepada dewi-nya untuk datang dan menari di bumi.

Kemudian sosialisme - sebagai ahli akrobat dan pesulap praktis – melompat ke depan. Ia melompat pada kawat kencang spekulasi sentimentil politik, alisnya melingkar hitam, dan, kesakitan dan menangis kurang lebih dengan cara ini, berkata, "Aku adalah musuh sejati dari kekerasan. Aku adalah musuh dari peperangan, dan juga musuh revolusi. Aku adalah musuh dari darah. "

Dan setelah berbicara lagi tentang "perdamaian" dan "kesetaraan", tentang "kepercayaan" dan "kesyahidan", tentang "kemanusiaan" dan "masa depan", ia melantunkan lagu tentang motif "ya" dan "tidak", menundukkan kepalanya dan menangis.
Dia mencucurkan air mata Yudas, yang bahkan tidak akan "aku cucikan tanganku" di Pilatus itu.

Dan para katak pun berangkat ...

Mereka berangkat menuju dunia kehinaan tertinggi manusia. Mereka berangkat menuju lumpur dari semua rawa.

Mereka berangkat..

Dan kematian datang!

Mabuk darah dan menari dengan mengerikan di dunia.

Selama lima tahun lamanya ...

Saat itulah para roh pengembara, diterima dengan kemuakan baru, menunggangi elang bebasnya sekali lagi untuk terbang tinggi tanpa arah dalam keheningan gletser-nya yang jauh lalu tertawa dan mengutuk.

Bahkan ruh Zarathustra - pecinta perang sejati dan teman tertulus dari para prajurit – pastilah cukup memuakkan dan menjijikkan sejak seseorang mendengarnya berseru: "Bagiku, kau pasti orang-orang yang melebarkan mata untuk mencari musuh dari musuhmu. Dan beberapa darimu membenci dengan hebat pada pandangan pertama. Kau harus mencari musuhmu, perangilah. Dan ini demi ide-idemu!

Dan jika idemu mati, kejujuranmu meneriakkan kemenangan!" Namun sayang! Khotbah heroik akan pembebasan kaum barbar tidak akan membantu apapun.

Sang manusia katak tidak tahu bagaimana membedakan musuhnya sendiri maupun bagaimana untuk memperjuangkan ide-idenya sendiri. (Katak tidak tahu apa-apa!)

Dan bahkan untuk mengenali musuh-musuhnya maupun menciptakan ide-idenya sendiri. Mereka berjuang demi perut saudara-saudaranya dalam Kristus, demi kesederajatan mereka dalam demokrasi.

Mereka satu sama lain berjuang untuk melawan musuhnya.

Abel, kembali, mati untuk Keributan yang kedua kalinya.

Tapi kali ini, di tangannya sendiri!

Dengan sukarela ...

Dengan sukarela, karena ia bisa saja memberontak, dan berbohong tidak melakukan apa-apa ...

Karena ia bisa saja berkata: tidak!

Atau ya!

Karena berkata: "tidak" ia bisa menjadi kuat!

Karena berkata: "ya", kebohongan bisa menunjukkan bahwa ia "percaya" tentang "penyebab ia berperang.

Namun ia tidak mengatakan "ya" atau "tidak".
Ia berangkat!

Dari rasa pengecutnya!

Seperti biasa!

Ia berangkat ...

Ia berangkat menuju kematian! .. .

Tanpa mengetahui sebabnya.

Seperti biasa.

Dan kematian datang ...

Ia datang untuk menari di dunia selama lima tahun lamanya!

Dan menari dengan tari mengerikan di parit berlumpur dari semua bagian dunia.

Ia menari dengan kaki petir ...

Ia menari dan tertawa ...

Ia tertawa dan menari ...

Selama lima tahun lamanya!
Ah! Betapa vulgarnya kematian yang menari tanpa sayap ide di punggungnya.

betapa bodohnya seseorang yang mati tanpa tahu penyebabnya..

Kami melihatnya ketika ia menari - Kematian. Ia adalah Kematian Hitam, tanpa transparansi cahaya.

Ia adalah Kematian tanpa sayap!

Betapa buruk dan vulgarnya ia ...

Betapa kikuk tariannya ...

Tapi tetap saja menari!
Dan bagaimana pembantaian - menari - semua yang tak berguna dan semua yang mayoritas. Semua itu untuk siapa - kata liberator agung- negara diciptakan.
Tapi sayang ! pembantaian itu tidak mungkin dilakukan sendiri...

Kematian - untuk membalas negara - bahkan membunuh habis mereka yang tak berharga, bahkan mereka yang sangat penting ...!

Tetapi mereka yang tak berharga, mereka yang bukan mayoritas, mereka yang telah mengatakan "tidak!" Mereka akan membalas dendam.

Kami akan membalasnya.

Kami akan membalasnya karena mereka adalah saudara kami!

Kami akan membalasnya karena mereka telah jatuh dengan bintang-bintang di mata mereka.

Karena mereka sekarat mabuk matahari.

Matahari kehidupan, matahari perjuangan, matahari Ide.

VI

Apa yang telah perang perbaharui?

Dimana semangat transfigurasi heroik?

Dimana mereka menggantungkan tabel pendar nilai-nilai baru?

Kuil mana yang di dalamnya memiliki emas suci amphoras yang melampirkan cahaya dan menyalakan hati para pahlawan tertinggi dan kreatif telah diletakkan?

Dimana semarak dari siang hari yang baru dan besar?
Sungai darah menakutkan mencuci semua hamparan rumput dan menutupi semua jalur dunia.
Ketakutan menyemburkan air mata membuat gema ratapan mereka yang memilukan melintasi pusaran dari seluruh bumi: tumpukan tulang belulang dan daging manusia dimana-mana memucat dan membusuk di bawah sinar matahari.

Tapi tidak ada yang berubah, tidak ada yang berkembang.

Perut para borjuis selalu saja bersendawa kekenyangan sedangkan para proletar berteriak karena teramat sangat kelaparan.

Dan cukup!

Dengan Karl Marx, pikiran manusia turun ke dalam perut. Deru yang melewati dunia saat ini adalah raungan perut. Dengan kemauan kita bisa mengubahnya menjadi teriakan pikiran.
Menjadi badai rohani.

Menjadi tangisan kehidupan merdeka.

Menjadi badai petir.
Petir kami yang dapat melepaskan engsel kenyataan ini, merobek pintu misteri tak diketahui yang merindukan kami - untuk mimpi dan pertunjukan keindahan tertinggi oleh manusia merdeka. Karena kami adalah para pelopor waktu yang marah.

Tumpukan pembakaran.

Menara api.

Sinyal.

Pengumuman pertama.

VII

Perang!

Kau masih ingat?

Apa yang telah perang ciptakan?

Ini dia:

Wanita menjual tubuhnya dan disebut prostitusi "percintaan bebas".
Seseorang , yang "mengelak" untuk memproduksi peluru dan mengajarkan keindahan perang, menyebut perasaan pengecutnya: "kecerdikan halus dan kelicikan heroik".
Yang satu ini selalu berada di dalam ketaksadaran kekejian, kepengecutan, dalam kerendahan hati, dalam ketidakpedulian dan dalam penolakan lemah, mengutuk keberanian kecil – Ia yang selalu membenci 4 karena dengan sendirinya mereka tidak memiliki kekuatan untuk mencegah perutnya terkoyak-koyak oleh senjata mereka yang merencanakan ingin membohongi dirinya sendiri demi sepotong roti busuk.

Karena bahkan para pengemis roh - mereka yang selalu berada di luar untuk menghangatkan diri sementara mereka yang lebih mulia dari manusia harus masuk ke dalam neraka kehidupan – kerendahan hati dan pengabdian seorang hamba dari rajanya yang kejam, ketaksadaran pemfitnah akan pemikiran yang superior, bahkan disini, kami mengatakan, tidak ingin berangkat.

Mereka tidak ingin mati.

Mereka menggeliat, mereka menangis, mereka memohon, mereka berdoa!

Namun semua ini karena naluri rendah tak berdaya dan sifat pertahanan diri kebinatangannya, kehilangan setiap raungan heroik pemberontakan, dan malahan bukan dari persoalan tentang manusia superior, perasaan murni yang terdalam, atau tentang keindahan spiritual.
Bukan, bukan, bukan!

Bukan dari semua itu!

Perut!

Hanya pada perut binatang.

Borjuis ideal - proletar ideal -perut!

Tetapi sementara itu kematian datang ...

Ia datang untuk menari di dunia tanpa memiliki sayap ide dipunggungnya!

Dan menari ...

Ia menari dan tertawa.

Selama lima tahun lamanya ...
Dan sementara dibatas-batas kematian tak bersayap yang menari mabuk darah, di rumah dalam apse suci front internal - dalam kebohongan "lembaran-lembaran" vulgar - evolusi moral dan material menakjubkan dari perempuan kami yang terus membawakan dan menyanyikan dengan kaki prajurit heroik dan mulia kami manaiki puncak spiritual. Orang yang mati menangis tanpa mengetahui "kenapa".

Berapa banyak kebohongan ganas, berapa banyak sinisme vulgar pikiran suram masyarakat demokratis dan Negara memuntahkannya ke dalam "lembaran-lembaran".

Siapa yang mengingat perang?

Bagaimana suara parau gagak ...

Burung gagak dan burung hantu!

Dan sementara kematian menari!

Ia menari tanpa memiliki sayap ide di punggungnya! Ide berbahaya yang berbuah dan menciptakan. ia menari...

Ia menari dan tertawa!

Dan bagaimana ia membantai - menari – berlebihan, mereka semua yang mayoritas. Mereka yang diciptakan oleh negara.

Tapi sayang! Ia tidak hanya membantai mereka.

Ia juga membantai mereka yang memiliki sinar mentari di matanya, mereka yang memiliki bintang-bintang di pupilnya!

VIII

Dimana seni epik, seni heroik, seni tertinggi yang perang janjikan pada kita?

Dimana kehidupan merdeka, kemenangan dari fajar baru, kemegahan hari, pesta meriah keagungan matahari?

Dimana penebusan perbudakan materi?

Dimana orang yang telah menciptakan puisi lembut dan mendalam yang harus tumbuh dengan penuh rasa sakit dalam jurang terdalam yang tragis dan mengerikan oleh darah dan kematian, untuk memberitahu kita tentang kesunyian dan penyiksaan kejam yang dirasakan oleh pikiran manusia?

Siapa yang akan mengatakan kata manis dan baiknya kepada kami bahwa panggilan pagi yang cerah setelah malam dari angin topan yang dahsyat?

Siapa yang akan mengatakan kata superior yang membuat kami besar selama duka-cita kami, murni dalam keindahan dan mendalam dalam kemanusiaan?
Siapa, sang jenius yang tahu bagaimana melenturkan dirinya dengan cinta dan kesetiaan diatas luka menganga di daging kehidupan kita, untuk menerima semua air mata mulia darinya sehingga tawa tertinggi dari semangat penebus bisa memecah cakar dari monster kelaparan atas kesalahan masa lalu kita dan membuatnya naik ke konsep etika superior, dimana, melalui prinsip bercahaya keindahan manusia dimurnikan dalam darah dan kesedihan, kita bisa mengangkat diri kita sendiri, kuat dan megah - seperti panah tegang pada haluan kemauan - untuk menyanyikan melodi lembut dan terdalam dari ketinggian semua harapan-harapan kita akan kehidupan duniawi!

Dimana? Dimana?

Aku tidak melihatnya!

Aku tidak merasakannya!

Aku melihat ke sekelilingku, tapi aku hanya melihat pornografi vulgar dan sinisme palsu ...

Setidaknya kami bisa saja diberikan seni oleh Homer, dan riwayat perang oleh Napoleon.

Seorang pria yang bisa memiliki kekuatan untuk menghancurkan zaman, untuk membuat sejarah baru ...

Tapi tidak ada!

Perang tak memberikan kami seorang pun penyanyi besar maupun para penguasa besar. Hanya momok-momok yang tidur dan parodi yang suram.

IX

Perang telah berlalu, mencuci sejarah dan kemanusiaan dalam air mata dan darah, tetapi zaman tetap tidak berubah.

Suatu zaman disintegrasi.

Kolektivisme sedang sekarat dan individualisme belum direngkuh..

Tidak ada yang tahu bagaimana mematuhi, tidak ada yang tahu bagaimana memerintah.

Namun, mengingat semua itu, untuk mengetahui bagaimana hidup merdeka, saat ini masih berada di jurang terdalam.

Sebuah jurang yang hanya dapat diisi dengan mayat perbudakan dan otoritas.

Perang tidak bisa menutupi jurang ini. Ia hanya bisa menggali lebih dalam.

Tapi perang tidak boleh melakukannya, revolusi harus dilakukan.

Perang telah menjadikan manusia lebih binatang dan kolot. Lebih kasar dan buruk.

Revolusi harus membuat mereka lebih baik.

Revolusi harus memuliakan mereka.

X

Sudahlah - berbahasa secara sosial - kami telah tergelincir menuruni lereng fatal, dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berbalik.

Melakukannya sendiri akan menjadi kejahatan.

Bukan kejahatan yang besar dan mulia.

Tapi kejahatan vulgar. Kejahatan yang lebih tak berguna dan sia-sia. Kejahatan terhadap tubuh dan ide-ide kami

Karena kami bukan musuh darah ...

Kami adalah musuh vulgar!

Sekarang adalah masa dimana kewajiban dan perbudakan menjadi menyakitkan, kami ingin menutup siklus pemikiran teoritis dan kontemplatif untuk menguak pelanggaran kekerasan, yang masih akan hidup dan ekspansi kegembiraan yang meluap-luap.

Pada reruntuhan kesalehan dan agama, kami ingin menegakkan kekerasan kreatif dengan kebanggan hati kami.

Kami bukan pengagum dari sang "manusia ideal" dari "hak-hak social”, tetapi orang yang akan memproklamirkan "individu sebenarnya", musuh abstraksi sosial.
Kami berjuang untuk pembebasan individu.

Untuk penaklukan kehidupan.

Untuk kemenangan ide kami.

Untuk mewujudkan impian kami.

Dan jika ide-ide kami yang berbahaya, itu karena kami adalah orang-orang yang mencintai hidup berbahaya.

Dan jika mimpi kami marah, itu karena kami marah.

Tapi kegilaan kami adalah kebijaksanaan tertinggi.

Tapi ide-ide kami adalah jantung kehidupan, dan pikiran kami adalah menara kemanusiaan.
Dan kenapa perang belum dilakukan, revolusi harus dilakukan.

Karena revolusi adalah api kemauan dan kebutuhan akan pemikiran tersendiri kami, itu adalah kewajiban aristokrasi libertarian.

Untuk membuat nilai-nilai etika baru.

Untuk menciptakan nilai estetika baru.

Untuk kekayaan materi komunalis.

Untuk kekayaan rohani individualis.

Karena kami adalah - celebralists kekerasan dan sentimentalis bergairah pada saat yang sama - memahami dan mengetahui revolusi itu adalah suatu keharusan diantara keheningan kesedihan yang menderita di bawah dan kebutuhan akan semangat kebebasan yang menderita di ketinggian.

Karena jika kesedihan yang menderita di bawah ingin bangkit dengan senyum bahagia matahari, semangat kebebasan yang menderita di ketinggian tidak lagi ingin merasakan luka kecil di hati dari rasa malu akan perbudakan vulgar yang mengelilinginya.

Jiwa manusia dibagi menjadi tiga arus:

Arus perbudakan, arus tirani, arus kebebasan!

Dengan revolusi, arus yang terakhir ini perlu untuk meledak tumpah pada dua arus yang lainnya dan membanjirinya.

Perlu untuk menciptakan keindahan spiritual, mengajarkan masyarakat miskin rasa malu atas kemiskinan mereka, dan kaum kaya rasa malu atas kekayaan mereka.

Segala yang disebut " properti material ", "milik pribadi", "properti eksterior" perlu menjadi matahari, cahaya, langit, laut, bintang-bintang adalah untuk individual.

Dan ini akan terjadi!

Ini akan terjadi karena kami – para Ikonoklas - akan melanggar itu!

Hanya kekayaan etika dan spiritual yang tak dapat dikalahkan.

Inilah milik individual sebenarnya. Sisanya bukan!

Sisanya itu rentan! Dan semua yang rentan akan dilanggar!

Ini akan dilakukan oleh kekuatan tak memihak-"ku".

Oleh kekuatan heroik dari sang manusia merdeka.

Dan diluar setiap hukum, setiap tirani moralitas, setiap masyarakat, setiap konsepsi kemanusiaan palsu ...

kami harus mengatur upaya kami untuk mengubah revolusi agar memajukannya ke dalam "kejahatan anarkis", dalam rangka mendorong umat manusia melampaui negara, melampaui sosialisme.

Menuju Anarki!

Jika, dengan perang, orang-orang tidak mampu menghaluskan dirinya dalam kematian, kematian lalu memurnikan darahnya yang tertumpah.

Dan darah yang dimurnikan kematian - tanah meminumnya dengan rakus - sekarang menangis di bawah tanah!

Dan kami para penyendiri, kami bukan penyanyi dari rahim, tetapi pendengar orang mati, suara orang mati yang menangis dari bawah tanah!

Suara darah "kotor" yang dimurnikan dalam kematian.

Dan darah yang jatuh menangis!

Menangis dari bawah tanah!

Dan tangis darah ini memanggil kami juga menuju jurang terdalam...

Ia mesti dibebaskan dari penjara nya!

Oh, penambang muda, bersiaplah!

Kami menyiapkan obor dan paravanes.

Ini diperlukan untuk sampai ke bumi.

Inilah waktunya! Inilah waktunya! Inilah waktunya!

Darah orang mati harus dibebaskan dari penjaranya.

Ia ingin bangkit dari kedalaman bayangan untuk melemparkan dirinya menuju langit dan menaklukkan bintang-bintang.

Karena bintang-bintang adalah teman dari orang mati.

Mereka adalah saudara yang baik yang telah melihat mereka mati.

Mereka (bintang) adalah satu-satunya yang pergi ke kuburannya setiap malam dengan kaki cahaya dan memberitahu mereka:

Besok! ...

Dan kami - anak-anak dari masa depan - datang hari ini untuk memberitahumu:

Sekaranglah waktunya! sekaranglah waktunya! sekaranglah waktunya!

Dan kami datang pada saat sebelum fajar ...

Dalam rombongan fajar dan bintang-bintang terakhir!

Dan untuk orang mati kami telah menambahkan lebih mati ...

Tetapi semua orang yang jatuh memiliki bintang emas yang bersinar di pupilnya!

Sebuah bintang emas yang mengatakan:

"Para pengecut dari saudara-saudara yang tersisa diubah menjadi mimpi kreatif, ke dalam pembalasan heroik. Karena jika tidak demikian, seseorang tidak akan layak untuk mati! "

Betapa menyedihkannya harus mati.

Tanpa harapan dalam hati orang-orang... tanpa pembakaran dalam otak orang-orang, tanpa mimpi dalam pikiran orang-orang; tanpa sebuah bintang emas yang bersinar di pupil kami!

* * *

Darah orang-orang yang mati - kematian kami - menangis dari bawah tanah.

Dengan Jelas dan jelas, kami mendengar tangisan. Tangisan yang memabukkan kami dengan penderitaan dan kesedihan.

Dan kami tidak bisa menutup telinga dengan suara itu, kami juga tidak ingin ... kami.

Kami tidak ingin menjadi tuli untuknya, karena hidup telah memberitahu kami:

"Siapapun yang tuli terhadap suara darah tidak layak bagi-Ku.

Karena darah adalah anggur-ku dan mati adalah rahasiaku.

Hanya kepada orang yang akan mendengarkan suara orang mati, aku akan mengungkap teka-teki misteri besarku! "

Dan kami akan menanggapi suara ini:

Karena hanya mereka yang tahu bagaimana menanggapi suara dari jurang terdalam yang dapat menaklukkan bintang-bintang.

Aku amanat-kan diriku padamu, oh adikku!

Aku amanat-kan diriku padamu dan memberitahumu:

Jika kau ada di antara mereka yang berlutut di setengah lingkaran, tutup matamu dalam kegelapan dan lompatlah ke dalam jurang terdalam.
Hanya dengan cara ini kau akan dapat melambung kembali ke puncak tertinggi dan membuka lebar pupil-pupil hebat mu di bawah sinar matahari. "

Karena seorang tidak bisa menjadi seperti elang jika ia bukan penyelam.

seorang tidak dapat melambung ke puncak ketika ia tidak mampu di kerendahan.

Di bagian terbawah, kesedihan menghuni, dalam penderitaan yang berat di ketinggian.

setelah terbenamnya matahari dari semua era, sang fajar khas terbit di antara dua petang yang berbeda.

Di tengah-tengah kemurnian cahaya dari fajar khas ini, kesedihan penyelam yang berada di dalam kami harus bersatu dengan penderitaan elang yang juga tinggal di dalam kami, untuk merayakan perkawinan tragis dan berbuah sebuah pembaharuan abadi.

Pembaharuan pribadi “ku" diantara prahara kolektif dan badai sosial.

Karena kesunyian abadi hanya untuk orang-orang kudus yang mengakui di dalam kesaksian tuhannya. Tapi kami adalah keturunan ateis kesepian.

Kami adalah setan penyendiri tanpa kesaksian.

Pada bagian bawah, kami ingin hidup dari realitas kesedihan, di ketinggian, dari mimpi kesedihan...

Dalam rangka menghidupkan semua pertempuran, semua kekalahan, semua kemenangan, semua mimpi, semua duka dan semua harapan-harapan yang intens dan berbahaya.

Dan kami ingin bernyanyi di bawah sinar matahari, kami ingin melolong dalam angin!

Karena otak kami adalah tumpukan kayu bakar yang berkilauan di mana api besar pemikiran mendedas dan terbakar dalam marah dan siksaan yang penuh kegembiraan.

Karena kemurnian dari semua fajar, nyala api dari semua siang, kemurungan dari semua matahari yang terbenam, keheningan dari semua kuburan, kebencian dari semua hati, bisikan dari semua hutan dan senyum dari semua bintang adalah catatan misterius yang menyusun musik rahasia dari pikiran kami dengan dipenuhi kesuburan hayati.

Karena dalam kedalaman hati kami, kami mendengar suara yang mengatakan tentang individuasi manusia, suara sangat bagus dan kuat itu, sering kali, di saat mendengarnya, kami merasa takut dan terancam.

Karena suara yang berbicara adalah suara-Nya: Iblis bersayap di kedalaman kami.

XI

Sekarang, terbukti ...

Hidup adalah kesedihan!

Tapi kami harus belajar mencintai kesedihan untuk mencintai kehidupan!

Karena dalam cinta akan kesedihan kami telah belajar untuk berjuang.

Dan dalam perjuangan – dalam perjuangan seorang diri- adalah kegembiraan hidup kami.
menggantungkan sisa separuh jalan (perjuangan) itu bukan gaya kami.

Setengah lingkaran melambangkan hal kuno: "ya dan tidak".

ketidakberdayaan hidup dan mati.

Inilah lingkaran sosialisme, belas kasihan dan iman. Tapi kami bukan sosialis ...

Kami adalah anarkis. Dan individualis, dan nihilis, dan aristokrat.

Karena kami berasal dari ketinggian.
yang jaraknya dekat dengan bintang-bintang.

Kami datang dari ketinggian: untuk tertawa dan mengutuk!

Kami datang untuk menyalakan tumpukan kayu bakar hutan diatas bumi untuk meneranginya sepanjang malam yang mendahului siang besar.

Dan tumpukan kayu bakar kami akan dipadamkan ketika api ledakan matahari dengan berwibawa berakhir di laut. Dan jika hari ini tidak akan datang,tumpukan kayu bakar kami akan terus berdedas dengan tragis ditengah-tengah kegelapan malam yang abadi.

Karena kami mencintai semua kebesaran ini.

Kami adalah pecinta setiap mukjizat, penyelenggara setiap keajaiban, pencipta setiap harapan.

Ya: kami tahu itu!

Bagimu, hal-hal besar berada dalam kebaikan seperti dalam keburukan.

Tapi kami hidup diluar sisi dari baik dan buruk, karena semua kebesaran adalah keindahan.

Bahkan "kejahatan".

Bahkan "perlawanan".

Bahkan "kesedihan".

Dan kami ingin menjadi besar seperti kejahatan kami!
Agar tidak mendustainya.

Kami ingin menjadi besar seperti perlawanan kami!
Agar dapat mewujudkannya nyata.

Kami ingin menjadi besar seperti kesedihan kami.

agar menjadi layak.

Karena kami berasal dari ketinggian. Dari rumah yang indah.

Kami datang untuk menyalakan tumpukan kayu bakar hutan di atas bumi untuk menerangi-nya sepanjang malam yang mendahului siang besar.

Hingga saat dimana api ledakan matahari dengan berwibawa berakhir di laut.

Karena kami ingin merayakan hari raya keajaiban besar manusia.

Kami ingin pikiran kami bergetar dalam mimpi baru.

Kami ingin senja sosial tragis ini memberikan kami, "aku" sedikit ketenangan dan sumbu menggentarkan dari cahaya universal.

Karena kami adalah nihilis dari momok sosial.

Karena kami mendengar suara dari darah yang menangis dibawah tanah.

Kami menyiapkan paravanes dan obor, oh penambang mudaku.

Jurang terdalam menanti kami. Hingga pada akhirnya kami melompat kedalamnya: Menuju Ketiadaan Kreatif.

XII

Nihilisme kami bukanlah nihilisme kristian.

Kami tidak menyangkal kehidupan.

Tidak! Kami adalah para Ikonoklas agung akan kebohongan.

Dan semua yang dinyatakan "suci" adalah kebohongan.

Kami adalah musuh dari "suci".

Dan bagimu hukum adalah "suci"; masyarakat adalah "suci", moral adalah"suci"; ide adalah"suci"!

Tapi kami – para guru dan pecinta kekuatan bengis dan keindahan berkemauan keras, atas ide menggairahkan - kami, para Ikonoklas dari semua yang disucikan - kami tertawa seperti setan, dengan tawa besar dan mengejek.

Kami tertawa! ...

Dan tertawa, kami memutar haluan hasrat pagan kami untuk selalu menikmati ketegangan menuju integritas penuh atas kehidupan.
Dan kami tuliskan kebenaran kami dengan tawa.

Dan kami tuliskan nafsu kami dengan darah.

Dan kami tertawa! .. .

Kami tertawa, gelak-tawa halus yang sehat dan merah akan kebencian.

Kami tertawa, gelak-tawa biru yang halus dan segar akan cinta.

Kami tertawa!

Tapi saat tertawa, kami ingat, dengan gravitasi tertinggi, menjadi keturunan yang sah dan ahli waris yang layak dari aristokrasi libertarian besar yang mengirimkan pada kami ledakan kesetanan diantara heroisme gila dalam darah, dan gelombang puisi, dari lagu-lagu solo dalam tubuh!

Otak kami adalah setumpuk pembakaran yang berkilauan, dimana retihan api pemikiran dibakar dalam siksaan penuh kegembiraan.

Pikiran kami adalah sebuah oase terpencil, selalu berbunga dan ceria, dimana musik rahasia menyanyikan melodi rumit dari kegaiban bersayap kami.

Dan dalam otak kami, semua angin pegunungan menangis kepada kami; dalam daging kami semua, prahara dari laut berteriak kepada kami; semua Bidadari Kejahatan; mimpi kami adalah surga sesungguhnya yang dihuni oleh dewa-dewa suci yang menggetarkan.

Kami adalah iblis kehidupan yang sesungguhnya.

Sang pelopor waktu.

Pengumuman yang pertama!

Kesuburan hayati kami memabukkan kami dengan kekuatan dan hinaan.
Ia mengajarkan kami untuk membenci Kematian.

XIII

Hari ini kami telah mencapai perayaan tragis dari senja sosial yang hebat.

Senja yang merah.

Matahari terbenam yang me-merah darah.

Mengepakkan sayap-sayap yang berdenyut gelisah dalam angin.

Sayap-sayap merah dengan darah, sayap-sayap hitam dengan kematian!
Dalam bayangan. Kesedihan mengerahkan tentara dari anak-anak tak diketahuinya.
Keindahan dalam taman Kehidupan, dan tenunan karangan bunga untuk dinobatkan di pundak para pahlawan.
Roh-roh bebas telah menghempaskan halilintar-nya melintasi senja.

sebagai api pengumuman pertama: pertanda pertama dari peperangan!

zaman kami berada di bawah roda sejarah.

peradaban Demokrat berbalik ke arah kuburan.

Borjuis dan masyarakat kolot telah hancur fatal, terelakkan!
Fenomena fasis adalah bukti paling pasti dan tak terbantahkannya.

Untuk menunjukkannya, kami hanya perlu untuk kembali pada masanya dan mempertanyakan sejarah.

Tapi kami tidak butuh itu!

Masa kini telah berbicara dengan kefasihan yang melimpah!
Fasisme tidak lain hanyalah kekejaman yang menyakitkan dan menggetarkan dari masyarakat yang kolot, lemah dan vulgar, yang teramat menderita dan dengan tragis tenggelam di rawa kecacatannya dan kebohongannya sendiri.

Ia- fasisme - merayakan bacchanals dengan nyala api dari tumpukan kayu bakar dan pesta pora jahat dari darah.
Tapi dari retihan suram api kelabu ini, ia tidak berkilau bahkan dengan satu cetusan penuh semangat, spiritualitas inovatif, sedangkan darah yang tertumpah berubah menjadi anggur yang oleh para pelopor waktu dikumpulkan secara diam-diam dalam chalices merah kebencian, dan menunjukkannya sebagai minuman gagah berani untuk komuni beserta semua keturunan kesedihan sosial yang di panggil untuk perayaan senja dari peraduannya.
Karena pelopor besar waktu adalah saudara dan teman dari para keturunan kesedihan.

Dari kesedihan perjuangan.

Dari kesedihan kebangkitan.

Dari kesedihan penciptaan.
Kami akan merangkul saudara tak diketahui ini untuk bersama maju melawan semua penolakan "tidak", dan bersama mendaki menuju semua penegasan "ya"; menuju fajar rohani yang baru; menuju terik siang kehidupan yang baru.

Karena kami adalah para pecinta bahaya, yang berani melakukan segalanya, para penakluk ketidakmungkinan, para promotor dan pelopor segala "usaha"!

Karena hidup adalah usaha!

Setelah meniadakan perayaan senja sosial, kami akan merayakan ritual "ku": siang yang hebat bagi individu yang sempurna dan sesungguhnya.

Sehingga tidak ada lagi kemenangan malam.

Sehingga tidak ada lagi kegelapan yang mengelilingi kami.

Sehingga kemegahan api matahari mengekalkan pesta cahayanya di langit dan di laut.

XIV

Fasisme merupakan rintangan yang terlalu singkat dan tak berdaya untuk menghalangi jalannya pemikiran manusia yang meledak menembus setiap bendungan dan meluap melewati setiap batas, menggerakkan aksi di jalannya.

Fasisme adalah ketidak-berdayaan sebab ia adalah kekuatan brutal.

Ia adalah material tanpa roh, malam tanpa fajar.

Fasisme adalah `wajah lain dari sosialisme.

Keduanya adalah tubuh tanpa jiwa.

16.7.11

Pendapatku

(Dari Buku Catatan Pemikiranku yang terdalam)

TUHAN
Ciptaan fantasi suram. Mengisi otak-otak pikun dan impoten. Teman dan penghibur bagi jiwa-jiwa tengik yang lahir untuk perbudakan. Obat untuk pikiran buntu. Marxisme untuk hati yang jemu.

KEMANUSIAAN
Sebuah kata abstrak dengan konotasi negatif, panjang pada kekuasaan, pendek pada kebenaran. Ia adalah topeng cabul yang dilukis di tengah wajah orang-orang vulgar dan licik, yang bertujuan untuk menguasai para idiot sinting dan sentimentil.

NEGARA
Hukum kerja paksa bagi orang-orang setengah cerdas. Sebuah kandang ke-bebal-an dan Circe yang mengubah para pemujanya menjadi anjing dan babi. Sundal bagi sang penguasa, penggermoan orang-orang asing. Pemakan-anak kecil, pengumpat-orang tua dan pencela pahlawan.

KELUARGA
Penolakan atas cinta, kehidupan dan kebebasan.

SOSIALISME
Disiplin, ketertiban, ketaatan, kepatuhan, perbudakan dan kebodohan, penuh dengan otoritas. Tubuh borjuis yang digemukkan secara aneh oleh makhluk vulgar kristian. Urutan dari fetisisme, sektarianisme dan kepengecutan.

ORGANISASI, PERSERIKATAN, DAN BADAN HUKUM
Gereja tak berdaya. Pegadaian kikir dan rendah. Banyak bergabung dengan hidup seperti parasit di balik kolega resminya yang tolol. Beberapa bergabung untuk menjadi mata-mata. dan yang lainnya, yang paling tulus, menyusul dan berakhir didalam penjara dimana mereka dapat melihat semua sisa arti-semangatnya.

SOLIDARITAS
Altar mengerikan yang digunakan oleh para pelawak untuk menampilkan seluruh bakat kemampuan kependetaannya dalam memimpin orang banyak. Sang ahli waris dari bayaran yang tidak kurang dari 100%. penghinaan

PERSAHABATAN
Berbahagialah orang-orang yang telah minum dari cawan (Persahabatan) ini tanpa jiwanya terluka atau keracunan. Jika orang tersebut ada, aku minta agar mereka mengirimkan fotonya kepadaku. Aku yakin akan melihat wajah idiot.

CINTA
Menipu diri dan merusak jiwa. Penyakit mental, berhentinya pertumbuhan otak, melemahkan jantung, merusak pikiran yang sehat, puitis ada pada seseorang yang mabuk mengkonsumsi hal berharga ini tapi hidup bodoh dengan lebih cepat. Namun aku lebih suka mati demi cinta. Ia hanyalah penipu, seperti Yudas, yang dapat membunuh dengan satu kecupan.

PRIA
Seonggok tinja busuk akan perbudakan, tirani, fetisisme, ketakutan, kesombongan dan kebodohan. Penyerangan terbesar yang dapat dilakukan terhadap seekor keledai adalah menyebutnya pria.

WANITA
Diperbudak binatang-binatang buas yang paling brutal. Menjadi korban terbesar di bumi. Dan, kemudian pria adalah orang yang paling bertanggung jawab atas masalah-masalahnya. aku penasaran ingin tahu apa yang ada di benaknya bila aku menciumnya.

Renzo Novatore
Pendapatku (Dari Buku Catatan Pemikiranku Yang Terdalam)
15 oktober, 1920
Di terbitkan pertama kali dalam Majalah, “Iconoclasta!”, Pistoia, #12, 15 oktober, 1920. Didapatkan kembali dari
https://sites.google.com/site/anarchyinitaly/renzo-novatore/my-maxims

Balasan

Yang terhormat "Libertario",

Dua puluh dua bulan kini telah berlalu sejak hari dimana semua monster-monster menjijikkan dan paling brutal mencoba untuk menyapuku kedalam kerongkongan berdarahnya yang mengerikan. Ya, bahkan aku ditakdirkan untuk menjelma menjadi alat rendah dari perbudakan seperti binatang, bahkan aku ditakdirkan untuk mengorbankan diriku sendiri (Oh, binatang kurban) diatas altar aneh dan paling bodoh dari semua momok manusia, bahkan aku ditakdirkan untuk menjelma menjadi "bagian dari alat-alat manusia" ...

Tapi aku tidak percaya pada takdir.
Bahkan nasib sekali pun aku tidak percaya! Tidak! aku hanya percaya pada daya kemampuanku! Dan jelas, hanya atas nama Anarkis ini, aku menjawab dengan arogan dan penuh penghinaan “TIDAK”, dan aku pergi dari sana ...

Aku telah berjalan dengan sukacita tak terbatas pada jalur rasa sakit. Untuk kawanku yang selalu punya resiko, mereka yang seperti layaknya saudara terkasih. Dibibirku selalu ada senyum ironis superior kuat menyeringai, dimata jernih dengan daya lihat mengagumkan akan tragedi heroik, aku hanya mengenal jubah kebebasan dari kehidupan yang membebaskan. Aku sendirian ... tapi didalam bayangan aku tahu bahwa ada sederap keberanian yang tersembunyi dan hidup bersamaku! Ah, betapa cintanya aku pada kader tak bernama itu...

Apa jadinya jika sebagian besar dari mereka menderita dalam waktu yang lama di lantai sel yang lembab? Mereka tidak akan tunduk! Mereka akan tetap hidup, dan kami tinggal dipinggiran masyarakat dari para pemberontak-pemberontak sejati, para ikonoklas yang pantang menyerah, atau mereka yang tak peduli dengan sesuatu yang dapat menjadi tragedi terakhir. Dan ini untuk hati nurani dan kepalan tangan "Para Demonstran Hitam", Oh, yang terhormat "Libertario", hari ini aku kirimkan ke kolommu, kemudian rasa terima kasih yang sangat diberikan kepadamu dan untuk semua kawan-kawan kader anarkis dan teman-teman sosialis atas segala moral maksimum dan material solidaritas yang telah diberikan selama petualangan gelap dari hukuman penjaraku ... aku sungguh salut dan berkata kepadanya: "Kau adalah kebanggaan atas tindakanmu yang cukup, karena hanya dari pembangkangan dan pemberontakan lah lahir sinar terang keindahan manusia!".

Salam untukmu, Oh anarkis sejati!

Salam untukmu, Oh saudara!


Renzo Novatore
Balasan
1919
(Terbit Di Il Libertario, La Spezia, N.732, 25 September 1919) Terjemahan Dalam Bahasa Inggris Oleh Luther Blissett 2009 – Dalam Bahasa Indonesia Oleh TD. 2011. Sebuah Tulisan Pendek Atas Ucapan Terima Kasih Dan Solidaritas Oleh Renzo Novatore Untuk Majalah Anarkis “Il Libertario” Pada September 1919. Setelah Beberapa Bulan Tinggal Di Penjara Karena Mengambil Bagian Dalam Usaha Pemberontakan Sosial Di Kota La Spezia Pada Awal Tahun.
Sumber:
shttp://theanarchistlibrary.org/HTML/Renzo_Novatore__Returning.html

Sang Pengambil Alih

Untuk Nikolina

kebebasanku dan hak-hak ku
Sebanyak daya kemampuanku
Bahkan kebahagiaan dan keagungan
hanya berada dalam ukuran kekuatanku!

(Dari buku yang aku tulis dan tak akan pernah melihat cahaya)

Sang pengambil alih adalah sosok lelaki yang paling indah, seorang yang tak mengindahkan moral dan kuat yang pernah saya jumpai dalam anarkisme. Dia adalah orang yang tak memperdulikan perhatian, dan tak memiliki altar untuk mengorbankan dirinya. Ia hanya memuliakan Hidupnya dengan filosofi Tindakan. Aku pernah bertemu dengannya pada suatu hari yang jauh di bulan Agustus, disaat matahari bersulam dengan emas alam hijau yang besar, wangi dan meriah, menyanyikan lagu-lagu jenaka akan keindahan pagan.

Ia berkata, "Aku selalu merasa gelisah, mengembara dan memberontak. Aku telah mempelajari banyak orang dan jiwanya dalam berbagai buku dan realitas. Dan aku menemukan perpaduan dari pelawak, penjahat, dan kekolotan. Aku merasa ingin muntah. Di satu sisi ada moral dari momok manusia yang menakutkan, yang diciptakan dari dominasi kebohongan dan kemunafikan. Di sisi lain ada binatang korban yang pengecut dan menyukai fanatisme. “Inilah dunia dari manusia. Inilah kemanusiaan. Untuk dunia ini, untuk seluruh manusia dan kemanusiaan ini, aku merasa jijik”.

Kekolotan dan borjuis adalah hal yang sama. Mereka sama satu sama lain. Sosialisme bukan dari pendapat ini. Ia membuat penemuan akan baik dan jahat. Dan untuk menghancurkan dua antagonisme ia menciptakan dua hantu: Persamaan dan persaudaraan diantara manusia ...

"Tapi orang akan sama dihadapan negara dan bebas didalam Sosialisme ... Dia - sosialisme – Telah menyangkal Kekuatan, Anak muda, dan Perang! Tapi ketika kaum borjuis, yang merupakan petani roh (peasants of the spirit), tidak akan sama seperti orang-orang kolot, para petani daging (peasants of the flesh), kemudian sosialisme mengakui, merengek, peperangan. Ya, bahkan sosialisme telah mengakui pembunuhan dan perampasan. Tapi didalam nama ideal dari kesetaraan dan persaudaraan manusia ... Dari kesetaraan suci dan persaudaraan yang dimulai oleh Cain & Abel! ...

"Tapi dengan Sosialisme kau hanya setengah berpikir, setengah bebas; dan kau hanya setengah hidup ...! Sosialisme adalah intoleransi, impotensi hidup, keimanan akan ketakutan. Aku akan melampaui!

"Kaum sosialis telah menemukan persamaan antara yang baik dan buruk, dan juga ketimpangan diantara keduanya. Pelayan yang setia dan tirani yang jahat. Aku menyeberangi ambang antara baik dan buruk untuk kehidupanku yang sesungguhnya. aku hidup hari ini dan tidak bisa menunggu besok. menunggu adalah sifat dari masyarakat dan kemanusiaan, sehingga tidak akan menjadi urusanku. Masa depan adalah topeng ketakutan. Keberanian dan kekuatan, tidak mempunyai masa depan. Kenyataan sederhananya, mereka (keberanian dan kekuatan) lah masa depan, yang memberontak pada masa lalu dan menghancurkannya.

"Proses kemurnian hidup hanya dengan keberanian mulia, itulah filosofi tindakan."

Aku melihat: "Kemurnian hidupmu ini bagiku tampak mendekati kejahatan!"

Ia berkata: "Kejahatan adalah perpaduan tertinggi dari kebebasan dan kehidupan. Dunia adalah momok dari moral dunia. Ada hantu dan bayang-bayangnya, ada Ideal, Cinta Universal, dan Masa Depan. Ketidaktahuan, ketakutan, dan kepengecutan, inilah bayangan hantu. Kegelapan mendalam. Mungkin kegelapan kekal. Bahkan aku pernah tinggal, satu hari, di penjara yang suram dan seram.

Pada waktu itu aku bersenjatakan dengan obor asusila (sacrilegious) untuk membakar hantu dan mengganggu malam. Ketika aku tiba di gerbang tua dari baik dan jahat, aku merobohkannya dengan marah lalu melintasinya. Kaum borjuis, aku telah melemparkan moral laknatnya dan kutukan moralnya yang bodoh.

"Tapi satu dan yang lainnya adalah kemanusiaan. Aku adalah manusia. Kemanusiaan adalah musuhku. Ia ingin mencengkramku dengan seribu tentakel mengerikannya. Aku mencoba untuk meneteskan air mata dari segala yang hasratku butuhkan. Kami berada dalam perang! Segala kekuatan ku miliki untuk merebut yang menjadi milikku.

Dan semua yang menjadi milikku akan aku korbankan diatas altar kebebasan dan kehidupanku.

Dari hidupku ini aku merasa berdebar-debar diantara api membara yang ku ledakkan di dalam hati; diantara semua siksaan kejamku ini, dimana aku telah membumbungkan jiwa diantara badai ilahi, dan itu membuatku mengggema dalam riuh gemuruh semangat atas perang dan simfoni-simfoni cinta yang agung, aneh dan tak diketahui, aku (empie) urat nadi dari darah segar dan kuat, yang mengalir diseluruh pembungkus ototku, sarafku dan dagingku, yang menggigil jahat dengan ekspansi kegembiraan; dari hidupku ini dimana aku melihat melalui daya lihat kerumunan atas mimpi fantastis dan semangatku yang diperlukan bagi pembangunan abadi.

Semboyanku ialah: berjalan merebut dan menyalakan api, aku selalu meninggalkan lolongan serangan terhadap moral dan batang rokok yang lama dibelakangku.

Ketika manusia tidak lagi memiliki kekayaan etis keunikan sejati, harta sesungguhnya yang tak dapat diganggu-gugat maka aku akan membuang kunci pembuka. Ketika di dunia ini tidak akan ada hantu lagi, maka aku akan membuang oborku. Tetapi masa depan ini berada jauh dan mungkin tidak pernah ada! Dan aku adalah seorang anak dari masa depan yang jauh ini, terkunci di dalam dunia kelam dengan Kesempatan dimana aku akan tunduk pada kekuasaan "Begitulah sang Pengambil Alih berkata padaku pada suatu hari yang jauh di bulan Agustus, disaat matahari bersulam dengan emas alam hijau yang besar, harum dan meriah, menyanyikan lagu-lagu jenaka akan keindahan pagan.

Footnotes
[1]^ empie — to make impious.

Renzo Novatore
Sang Pengambil Alih
26 November, 1919
L’Iconoclasta Dari Pistoia, Itali. Terjemahan bahasa inggris oleh Luther Blissett 2009 – bahasa indonesia oleh TD 2011 [copyleft]
Renzo, Novatore (1919). Sang Pengambil Alih. Iconoclasta!, aI, 1s, 10. Sumber :https://sites.google.com/site/anarchyinitaly/renzo-novatore/the-expropriator